Dalam kaitannya kasus yang terjadi sekarang ini yaitu banyak terjadinya bencana baik banjir,tsunami,gempa bumi dan gunung berapi,untuk itu kita akan melakukan study kasus tentang manajemen bencana di lihat dari perspektif SDM.
Proses mitigasi adalah beberapa tindakan yang seharusnya di ambil sebelum terjadinya bencana dalam rangka pengurangan resiko bencana yang terintegrasi dengan pengembangan system yang berkelanjutan yaitu dengan prencanaan wilayah yang baik dan akses informasi yang up to date agar masyarakat bisa mengetahui indikasi terjadinya bencana hal ini bisa mengurangi resiko akibat bencana.
Kesiapan secara individual sangatlah penting untuk mengurangi resiko akibat bencana agar tidak lagi menunggu bantuan dari pihak lain,mereka dapat menyelamatkan diri mereka sendiri bahkan orang lain dengan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengantisipasi resiko akibat bencana.
Yang akan kita bahas secara mendalam adalah manajemen bencana yang ada di merapi yang tujuannya adalah agar kita tahu program apakah yang di rancang oleh pemerintah dalam mengatasi efek bencana merapi,baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
untuk mengurangi efek bencana Merapi telah dilakukan kegiatan baik di masarakat, pamerintah maupun sekolah.
Untuk yang di masyarakat seperti : Pelatihan CBCM, pelatihan PPGD, wajib laith, pemetaan alur sungai, pelatihan fasilitator, simulasi, radio komunitas, penyediaan sarana komunikasi, pembuatan gardu pandang, analisis risikio, pembuatan protap desa.
Untuk pemerintah : terbentuknya forum merapi, pelatihan aktor – aktor pemerintah, penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam perdaman risiko bencana.
Untuk sekolah: lokakarya PRB bagi guru dan sekolah, pembuatan protap sekolah, simulasi sekolah, penyusunan rencana aksi.
Yang pertama akan kita bahas adalah pelatihan CBCM (Community Based Conflict Management) yaitu suatu program manajemen untuk mengurangi resiko bencana dengan melibatkan pihak – pihak yang terkait dg melibatkan masyarakat secara aktif.
Pelatihan PPGD ( PERTOLONGAN PERTAMA GAWAT DARURAT ) yaitu bentuk sikap tanggap bencana dg waktu response tercepat untuk mengurangi resiko bencana,PPGD ini di lakukan dalam aspek pelayanan terpadu masalah kesehatan dan keselamatan korban bencana.Dalam hal ini pemerintah bekerja sama dengan Rumah sakit dan Relawan kesehatan lainnya.
Sedangkan Wajib latih yaitu suatu program yang di canangkan oleh pemerintah daerah dengan Badan penyelidik dan pengembangan teknhnologi kegunungapian (BPPTK) Provinsi setempat.Program ini berupa latihan teknis tentang pemahaman tentang karakter ancaman, memahami kerentanan, menilai risiko, dan mengenali kapasitas bencana.
Pemetaan aliran sungai dilakukan untuk mengatasi meluapnya lahar dingin yang di keluarkan dari lereng merapi,aliran sungai sudah d scenario serapi mungkin agar lahar dingin dari lereng merapi mengalir menurut pola atau daerah yang sudah di persiapkan di sungai-sungai tertentu jadi jika terjadi luapan lahar dingin pemerintah dan warga setempat bisa mendeteksi dimana terjadinya luapan tersebut.
Simulasi adalah suatu teknik meniru operasi-operasi atau proses yang terjadi dalam suatu system dengan bantuan perangkat computer dan dilandasi oleh beberapa asumsi tertentu sehingga system tersebut dapat di pelajari secara ilmiah.ada beberapa simulasi yang di lakukan ahli vulkanologi seperti mengeluarkan pernyataan naiknya status dari siaga menjadi awas,simulasi para relawan agar lebih tanggap dan siap dalam membantu dan mengevakuasi para korban merapi.
Radio kumintas di bentuk bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi tentang keadaan gunung merapi dan agar warga cepat menyelamatkan diri.
Pembuatan gardu pandang dimaksudkan untuk memantau aktivitas gunung merapi dari jarak tertentu.
Dari sedemikian banyak program pemerintah yang tertera di atas adapun program yang pemerintah lakukan atas kerjasama dengan UPN Veteran Yogyakarta yaitu:
“Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah Dalam Peredaman Risiko Bencana Letusan G. Merapi (IDSB 34)”
Tujuan Dasar
Kontribusi kepada berkurangnya risiko bencana primer dan sekunder G. Merapi yang berdampak kepada berkurangnya kematian, kesakitan dan kerugian aset-aset pada masyarakat kawasan rawan bencana.
Program ini akan mendorong pemerintah di tiap-tiap kabupaten untuk memasukkan rencana pengurangan risiko kedalam rencana pembangunan daerah dan penganggaran tahunan. Pemerintah kabupaten akan peta ancaman, kerentanan dan risiko, sumber daya lokal, dengan mengintegrasikan data jenis kelamin terdisagregasi; dan mengembangkan rencana pengurangan risiko bencana untuk satu jenis bencana (letusan G. Merapi).
Melalui program ini harapannya dapat mendorong perubahan-perubahan gagasan/ide pada autoritas kabupaten:
Dari tanggap darurat yang terbatas ke pendekatan yang komprehensif (kesiapsiagaan dan mitigasi).
Bahwa bencana dan pembangunan tidak dapat dipisahkan,
Menerima peran sebagai pemegang kewajiban (duty bearer),
Bahwa terhadap cara-cara berbeda dalam memperlakukan laki-laki, perempuan dan anak-anak.
Intervensi kemanusiaan dapat diukur dan dapat ditanggunggugat,
Pemerintah daerah dapat membiayai sendiri dan mengakses sumberdaya eksternal,
Intervensi kemanusiaan selalu terukur dan akurat.
Selain itu, pemerintah kabupaten diharapkan:
Risiko bencana dapat dikurangi,
Pengurangan risiko bencana merupakan aspek penting untuk kelanjutan pembangunan, dan karena itu mengurangi kemiskinan dan penderitaan,
Masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kapasitas untuk berperan penting dalam mengurangi risiko bencana.
Berinisiatif untuk meningkatkan kapasitas staf dan dinas-dinas terkait dalam pengelolaan bencana dan pengurangan risiko bencana.
Mengintegrasikan penanggulangan bencana ke dalam perencanaan pembangunan di daerah masing-masing, di mulai dari dinas-dinas terkait.
Menggalang inisiatif politik dari anggota DPR untuk berintegrasi dengan DRR pada program pembangunan daerah.
Menjadikan pokja sebagai sumberdaya untuk kebutuhan pengembangan inisiatif daerah.
Risiko bencana sebagai aspek penting yang mempengaruhi keberlanjutan pembangunan dapat dikurangi, sehingga kemiskinan dan penderitaan juga dapat berkurang.
Mengedepankan keberdayaan masyarakat, dimana baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kapasitas untuk berperan penting dalam mengurangi risiko bencana.
Program ini akan memberikan kontribusi kepada pencapaian pengurangan kemiskinan (atau mencegah lebih banyak orang jatuh kedalam kemiskinan) melalui perlindungan yang lebih baik terhadap jiwa dan penghidupan masyarakat miskin yang rentan terhadap bencana di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Melalui peningkatan kapasitas pejabat-pejabat pemerintah setempat dalam manajemen bencana (termasuk pemahaman tentang kerentanan), diharapkan dapat menuju perbaikan kebijakan dan praktek mitigasi bencana oleh pemerintah yang berkepentingan.
Tujuan Spesifik
Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Peredaman/Pengurangan Risiko Bencana Letusan G. Merapi dengan mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan penganggaran, kelembagaan dan rencana pemerintah daerah dengan mempertimbangkan kelompok rentan.
Indikator pencapaian program :
Tiap kabupaten mempunyai/memperbarui database kebencanaan G. Merapi (peta ancaman, kerentanan, kapasitas dan resiko dan penduduk menurut umur dan sex).
Terbentuk dan berfungsinya Pokja lintas 4 kabupaten sebagai pusat informasi pengurangan risiko bencana untuk kawasan di sekitar G. Merapi.
Tiap kabupaten memiliki rencana untuk penguatan kelembagaan dalam kerangka rencana aksi pengurangan/peredaman risiko bencana letusan G. Merapi, baik ancaman primer dan sekunder.
Tersedianya hasil analisa anggaran peredaman/pengurangan risiko bencana letusan G. Merapi untuk melalui sektor-sektor terkait dalam DIP (RENJA SKPD) atau RAPBD (RKPD) tahun anggaran 2008 di tiap kabupaten.
Mekanisme dana penanggulangan bencana menjadi wacana publik di tingkat kabupaten, propinsi dan nasional.
“Penguatan Komunitas Dalam Peredaman Risiko Bencana Letusan G. Merapi (IDSB 37)”
Tujuan Dasar
Kontribusi kepada berkurangnya risiko bencana primer dan sekunder G. Merapi yang berdampak kepada berkurangnya kematian, kesakitan dan kerugian aset-aset pada masyarakat kawasan rawan bencana.
Project ini diharapkan dapat berkontribusi pada peran serta aktif masyarakat dalam agenda kesiap-siagaan pemerintah dan komunitas dalam menghadapi ancaman letusan Gunung Merapi di 4 kabupaten (Magelang, Boyolali, Klaten, dan Sleman).Hal ini diupayakan dengan memfasilitasi masyarakat untuk menyusun konsep kesiapsiagaan komunitas yang sesuai dengan ancaman, kapasitas dan kerentanan lokal di 15 alur sungai di Cluster Merapi dan kemudian mengkomunikasikan perencanaan tersebut kepada pihak-pihak terkait, dalam hal ini adalah pemerintah lokal dan parapihak lain yang juga bekerja untuk upaya pengurangan risiko bencana di kawasan G.Merapi.
Hal utama yang diupayakan oleh proses pendampingan dalam proyek ini adalah:
Meningkatkan kapasitas masyarakat di sekitar kawasan G. Merapi untuk mengenal dan memahami ancaman, kapasitas, dan kerentanan menghadapi letusan G. Merapi di lingkungan terdekat mereka tinggal (paling kecil adalah dalam skoping dusun).
Mendorong komunitas untuk membuat perencanaan kesiapsiagaan dan upaya-upaya pengurangan risiko bencana menghadapi letusan G. Merapi berdasarkan ancaman, kerentanan dan kapasitas yang ada di lingkungan terdekat dari komunitas tersebut.
Mendorong dan memfasilitasi komunitas untuk melibatkan pihak pemerintah lokal dalam proses mengenal ancaman, kapasitas dan kerentanan dan proses membuat perencanaan untuk kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana di lokasi masing-masing.
Mendorong dan memfasilitasi komunitas untuk membangun jejaring dengan para pihak lain, termasuk dengan pemerintah lokal dan terlibat aktif diskusi-diskusi serta proses-proses perencanaan kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana yang dilakukan oleh pemerintah mulai dari tingkat desa – kecamatan sampai ke tingkat kabupaten.
Tujuan spesifik
Meningkatkan kapasitas masyarakat di 63 desa (302 dusun di 14 kecamatan dari 4 Kabupaten) kawasan rawan bencana untuk mengurangi risiko bencana dari lahar.
(proposal awal: 7 desa 59 dusun, alur S. Gendol. Bertambah menjadi 63 desa 350 dusun, 14 kecamatan di alur S. Gendol, Boyong, Woro, Krasak-Bebeng, Batang, Blongkeng, Putih, Senowo, Tlising, Apu)
Indikator pencapaian program :
- Masyarakat di 63 desa (302 dusun di 14 kecamatan dari 4 kabupaten) mengetahui secara terstruktur tentang ancaman, kerentanan dan kapasitas mereka terhadap risiko lahar G.Merapi.
- Pemahaman ancaman, dilakukan dalam CBDRM kampung di 302 dusun, disampaikan dalam materi mengenal ancaman sekuder letusan G. Merapi, termasuk didalamnya bagaimana hubungan antara sabo dalam pengelolaan ancaman sekunder. Dengan memahamkan adanya ancaman sekunder, diharapkan memunculkan sikap antisipatif di masyarakat, yang sebelumnya hanya antisipasi bahaya primer. Tindak lanjut dari pengenalan ancaman lahar dengan melaksanakan kegiatan pembuatan peta ancaman lahar, prosedur penyelamatan dan rencana pengurangan risiko di tiap-tiap alur sungai. Lampiran 1.1 Dokumen Analisa ancaman, kerentanan, dan kapasitas.
2. Masyarakat di 63 desa (302 dusun di 14 kecamatan dari 4 kabupaten) mempunyai rencana aksi untuk mengurangi risiko, termasuk rencana pengamanan aset livelihood.
Proses penyusunan rencana aksi untuk mengurangi risiko dan pengamanan aset penghidupan dilakukan bersamaan dengan proses training pembentukan Tim siaga. Anggota tim siaga, terutama di desa baru menjadi pemandu dalam penyusunan peta, SOP dan rencana aksi di desanya, bergabung dengan beberapa desa lainnya dalam pertemuan alur sungai. Anggota tim siaga memiliki pemahaman atas ancaman, risiko dan kondisi (kapasitas dan kerentanan) yang bisa disampaikan kepada masyarakat. Proses ini dilakukan di 302 dusun berdasarkan 15 alur sungai.
3. Terbentuknya Tim Siaga Desa yang mencakup 63 desa dengan struktur dan tanggung jawab yang jelas.Pembentukan Tim Siaga telah terbentuk dan siap bekerja di kampung, telah melakukan 2 kali pelatihan (DM dan PPGD), dari pelatihan yang sudah dijalani, muncul dari masyarakat antara lain ada kegiatan lanjutan (pelatihan PPGD, ingin bergabung di PASAG Merapi, pelatihan SAR dll) yang mengarah pada penguatan kapasitas untuk menjadi Tim Siaga Desa. Proses ini dilakukan di 302 dusun berdasarkan 15 alur sungai di 14 kecamatan dari 4 kabupaten di Cluster Merapi. Pengorganisasian tim siaga desa ini selanjutnya berhimpun dengan PASAG Merapi.
4. Sejumlah kegiatan pengurangan resiko terlaksana di 63 desa sesuai dengan analisa risiko dan rencana aksi masyarakat.
Proses ini dilakukan bersamaan dengan proses training pembentukan Tim Siaga Desa. Dalam proses pelatihan, terdapat materi CBDRM, yang intinya mengenalkan hubungan antara ancaman, risiko, kapasitas dan kerentanan, serta bagiamana mendorong masyarakat mampu mengurangi risiko bencana dengan memperhatikan kelemahan yang dimiliki sekaligus menggunakan kapasitas yang dimiliki dengan penekanan bagaimana melakukan tindakan yang mampu dilakukan sendiri, serta berusaha mengurangi ketergantungan atau tidak terlalu tergantung pada pihak luar. Proses ini dilakukan di 302 dusun berdasarkan 15 alur sungai di 14 kecamatan dari 4 kabupaten di Cluster Merapi.
5. Adanya sistem peringatan dini yang disepakati bersama.
Sistem Peringatan Dini di 35 desa yang sebelumnya telah disepakati – telah dievaluasi dan diperbaiki. Sistem peringatan dini dikenalkan saat pelatihan, dikaitkan dengan ancaman yang ada, intinya mengenalkan bagaimana masyarakat mampu menandai datangnya ancaman, menyebar informasi datangnya ancaman, dan bagaimana memastikan masyarakat luas merespon atas informasi dengan tindakan yang nyata. Sistem peringatan dini di tiap kampung berbeda-beda, tergantung posisi kampung dan sarana kesiapsiagaan yang ada. Proses ini dilakukan di 302 dusun berdasarkan 15 alur sungai di 14 kecamatan dari 4 kabupaten di Cluster Merapi. Perencanaan pembangunan pos-pos siaga, baik merupakan kegiatan melengkapi yang sudah ada maupun membuat pos-pos pengamatan baru di 15 alur sungai telah dilakukan.
6. Adanya rencana tanggap darurat bencana di tingkat desa.
Rencana tanggap darurat bencana di tingkat desa adalah hasil dari proses pembentukan Tim Siaga Desa dan penyusunan rencana aksi tanggap darurat bencana di tingkat desa. Rencana tanggap darurat kebanyakan dimiliki desa / kampung tertinggi, desa di bawahnya didorong untuk lebih mampu berperan membantu desa di atasnya saat terjadi kondisi darurat. Dalam antisipasi banjir lahar, kesiapsiagaan didorong untuk memetakan bagian kampung yang berisiko terlanda banjir lahar, serta membuat kesepakatan (mekanisme penyelamatan) untuk antisipasi banjir lahar terhadap aktivitas penambangan. Proses ini dilakukan di 302 dusun berdasarkan 15 alur sungai di 14 kecamatan dari 4 kabupaten di Cluster Merapi.
0 komentar:
Posting Komentar