Rasa syukur itu terlebih menemukan maknanya ketika memori warga terantuk pada Peristiwa traumatik yang teramat mengguncang warga Turgo, 16 tahun silam. Tepatnya pada Selasa Kliwon, 22 November 1994 pukul 10.00, gumulan wedus gembel yang terlepas dari mulut Merapi telah merenggut korban 68 jiwa (43 diantaranya adalah warga Turgo), 40 rumah hancur, 137 ekor ternak mati, 174,4 ha lahan pertanian rusak, 683,7 ha hutan rusak, 8.716 m pipa air bersih rusak. Dalam peta kebencanaan letusan gunung berapi, Dusun Turgo yang masuk dalam kewilayahan Desa Purwobinangun, memang terhitung sebagai salah satu wilayah rawan bencana nomor wahid di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam konteks kebencanaan itu, wilayah Dusun Turgo yang beradadi apitan hulu badan Kali Boyong di sisi timur dan Kali Ledok Lengkong (begitu warga menyebut) di sisi baratnya memang sering jadi pusat perhatian publik tatkala Merapi mulai bergolak.
Mengenang pada kenangan pahit yang beruntun itu, maka berulangnya erupsi pada tahun 1997, 2006, dan 2010 silam selalu saja menggedor kesadaran dan memori kolektif warga Turgo untuk senantiasa eling lan waspada. Ditilik dari tingkat kesadaran pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction), warga Turgo bisa diandalkan, kendati tetap harus senantiasa dimutakhirkan.
Turgo adalah legenda. Senantiasa namanya terlekat pada keberadaan situs Merapi Purba yang nampak kerdil di ujung kaki Merapi sisi barat daya. Kendati jauh berlipat kecilnya dari Merapi, namun warga sekitar meyakini bahwa bukit Turgo itulah yang selama ini membentengi dan menyelamatkan mereka saat Merapi punya gawe (erupsi). Keyakinan warga begitu lekat bahwa tak akan mungkin Merapiberani melangkahi atau bahkan menelan bibi pengasuhnya sendiri: Gunung/Bukit Turgo. Maka, bersandingkan bukit Turgo, komunitas warga yang bermukim di sisiselatannya pun hidup dalam damai tanpa perlu beselimut cemas. Kendati hidupberkawan dengan bahaya (living with risk), namun pernaungan kosmologi Turgo-Merapi teramat cukup bagi warga untuk berdaya tahan. Kosmologi itu adalah worldview yang tak akan pernah tercerabut dari jagad batin sebagian besar warga di Dusun Turgo, bahkan oleh maut sekalipun. Sesial apapun, mereka toh masih merasa berkesempatan menyaksikan tanah wutah getih-nya terbenahi dan terpulihkan lagi. Kalis ing bebaya (terhindar dari segala mara bahaya) adalah berkah yang tak terpermanai bagi mereka.
Kendati penuh dengan kelungkrahan, denyut nadi kehidupan warga Turgo perlahan-lahan pulih kembali. Memang, ada yang magis saat warga fasih menjereng nama Turgo sebagai nggenturke rogo, yang merujuk pada makna usaha keras manusia untuk menempa atau mendisiplinkan raga, tubuh jasmaniahnya. Relasi antara sebutan Turgo dan nggenturke rogo bukanlah sekadarrelasi kosong antara akronim dan kepanjangannya, atau dalam bahasa Jawa disebut keroto boso. Melampaui itu, nggenturke rogo telah menjadi ruh/jiwa yang menjelma dalam laku hidup keseharian warga Turgo, sebagai anak-cucu-cicit-canggah Mbah Cakrapada—leluhur cikal bakal Dusun.
Ada kesan kuat, ketangguhan kemandirian, dan kejuangan hidup warga Turgo seolah “cukup” tanpa “kehadiran negara” sekalipun. Mereka akan tetap ada dan hidup untuk diri dan seluruh trah Mbah Cakrapada dalam segenap ke-ugahari-an mereka. Senyatanya, mereka adalah manusia-manusia pekerja yang ulet dan tangguh demi terselenggaranya kehidupan keluarga dan komunitas di pereng tepi barat daya Merapi itu. Kewaspadaan dan kesiapsiagaan warga mengantisipasi bencana erupsi telah menjadi keutamaan yang senantiasa mereka hidupi. Hanya saja berbagai belitan kerentanan (sosial, ekonomi, fisik, dan lingkungan) masih saja mencengkeram sekaligus mengancam kehidupan warga Turgo. Proses mitigasi bencana yang holistik belum tersentuh oleh intervensi kebijakan negara. Menjadi tak mengherankan jika penanganan atas berbagai kerentanan yang melingkupi warga Turgo masih sangat parsial. Kalau pun toh pendampingan multi pihak itu lengkap di setiap sektor, namun penanganan yang terintegrasi/ holistik adalah suatu keutamaan yang langka terjadi. (Widyanta)
Menurut penuturan sesepuh dusun, Mbah Marjo, “Manungsa, alam paringane Gusti. Mila manungsa kedah menfaataken kanthi dipun jagi ingkang sae. Awit kabetahanipun tiyang gesang: toya, siti lan sanesipun, kawula menawi mboten dipun mekaraken mangkenipun badhe mboten cekap.” Maksudnya, bahwa manusia dan alam adalah ciptaan Tuhan, sehingga manusia harus memanfaatkan dan menjaganya dengan baik. Kekayaan alam yang dimanfaatkan dan dijaga dengan baik tentu akan dapat mencukupi kebutuhan manusia sampai generasi yang akan datang. Tetapi apabila tidak dimanfaatkan dengan baik pasti akan merugikan manusia sendiri. Begitupula, kita harus menjaga alam di sekitar gunung Merapi ini karena Merapi lebih sering menawarkan kebahagiaan melalui kesuburan tanah dan ketersediaan sumber air, komponen pokok kehidupan mereka sebagai petani, daripada kesusahan. Lahir dan hidup di lereng Merapi, erupsi, bertahan hidup, dan tetap "eling lan waspodo" adalah proses pemurnian alam kemanusiaan. Dalam masa ini semua akan terlihat apa adanya, baik atau jelek. "Hidup dan mati, saya pasrahkan kepada Gusti Pengeran", kata Mbah Marjo
Penulis : Nuno rahman
Sumber: https://www.facebook.com/notes/nuno-rahman/warga-tangguh-warga-berdaya/10152517786490480?notif_t=note_tag
Penulis : Nuno rahman
Sumber: https://www.facebook.com/notes/nuno-rahman/warga-tangguh-warga-berdaya/10152517786490480?notif_t=note_tag
0 komentar:
Posting Komentar