Dalam pewayangan, ‘gunungan’ menduduki peran sentral sebagai penanda pembuka dan berakhirnya pagelaran. Gunungan berhiaskan simbol flora dan fauna, kiasan kesatuan ekosistem penunjang kehidupan. Rusaknya ekosistem menjadi penanda rusaknya kehidupan.
Bagi masyarakat gunung, kata gunung selalu memiliki daya pesona yang khas. Secara fisik kegagahan gunung menimbulkan rasa aman, ‘berlari ke gunung’ sering diungkapkan sebagai penanda gunung sebagai benteng perlindungan. Pemazmur yang menyeru “Allahku, gunung batuku” bermakna alegoris (kias) yang berarti, Allah tempat perlindunganku. Gunung dipergunakan dalam kiasan tempat berlindung, meski terkadang gunung juga menakutkan saat yang mbahureksa gunung memuntahkan lahar dengan kedahsyatannya dan dalam jangka panjang muntahan lahar itupun merupakan wujud dari penumpahan berkat batu pasir, batu gunung dan kesuburan tanah pegunungan.
Dalam keseharian beberapa istilah juga mengait pada kosakata gunung, diantaranya nyabukgunung, njanur gunung serta sri gunung. Sosok gunung dari jauh tampak indah setelah didekati by detail ada lembah, lurah, tonjolan, jurang yang bagi kebanyakan orang jangankan indah malahan menyeramkan, ada aura bahaya. Istilah srigunung biasanya digunakan sebagai penyandra perwajahan yang keindahannya menonjol bila dilihat dari jauh. Sri gunung dalam realita keseharian dekat dengan kesukaan mengagumi dan menikmati keindahan yang sebanding dengan keberanian menghadapi potensi bahaya dengan menyikapinya secara bijak.
Berbagai bahaya diantaranya erosi, muntahan lava, serta dampak global perubahan iklim terintegrasi di daerah lereng gunung berapi. Namun masyarakat di sekitar puncak gunung Merapi tetap merasa ‘hidup nyaman bersama ancaman’. Bagi masyarakat sekitarnya, Merapi yang berasal dari kata ‘meru’ (gunung) dan api, diyakini sebagai bagian dari kehidupan kulturalnya. Gunung dan manusia sebagai suatu kesatuan, sehingga aktivitas gunung berapi diyakini tidak akan menegakan masyarakatnya. Penguasa gunung akan mengirim utusan dan masyarakat penghuni gunung diberi kemampuan membaca sasmita tanda-tanda alam berupa asap, migrasi fauna dari atas ke bawah sebagai penanda peningkatan aktivitasnya.
Aktivitas gunung berapi juga menghidupkan rasa empati merasa senasib yang menjadi embrio kelahiran organisasi komunitas semisal Paguyupan Sabuk Gunung (PASAG) Merapi. Integrasi organisasi komunitas dalam kebijakan dan langkah penanggulangan bencana sangat diperlukan untuk mengefektifan mitigasi dan langkah penyelamatan.
Manusia adalah makluk pembelajar. Aneka mitos, cerita gugon tuhon, pengetahuan dan kearifan lokal bisa dan perlu diramu dengan kekinian untuk dipergunakan oleh masyarakat sebagai dasar adaptasi kultural penduduk. Konsep keseimbangan alam yang diterjemahkan ke dalam sistem sosial yang membatasi kerusakan alam di wilayah lereng Gunung.
Melalui gunungan manusia diingatkan akan tiga dasar relasi yaitu relasi manusia dengan sesama titah ngaurip (antar makluk hidup) manusia-flora-fauna, relasi manusia dengan alam serta relasi manusia dengan Sang Maha Atitah. Ketiga relasi ini secara hakiki sebangun dengan prinsip Tri Hitta Karana yang mendasari gerak hidup masyarakat Bali, sebagai saka guru harmonisasi kerukunan. Relasi manusia dengan Sang Pencipta (Parahyangan), relasi antar manusia dengan sesama (Pawongan) dan relasi manusia dengan lingkungan (Palemahan).
sumber: http://suprihati.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar