Saat letusan Merapi Tahun 2006, menurut masyarakat saat itu belum mengungsi dikarenakan arah luncuran wedus gembel megarah 6 kilometer dari kawah Merapi tepatnya di Kali Adem saja. Saat itu korban meninggal adalah 2 orang wartawan di bunker. Saat itu, masyarakat juga masih menjadi relawan di gempa Bantul karena peristiwanya hampir berbarengan. Tahun 2007, Sondong mulai mengenal komunitas di Merapi dan belajar dari komunitas tersebut juga di fasilitasi alat komunikasi berupa Handy Talky (HT), jadi dia bisa mendengar atau mendapatkan informasi baik dari Merapi di berbagai wilayah, di dekat rumahnya ada sepanjang bantaran kali Gendol yang sering terdampak adanya ancaman lahar hujan. Wilayah Dusun Srodokan terutama adalah termasuk Kawasan Rawan Bencana (KRB) III, berpotensi terhadap dampak aliran lahar hujan. Mayoritas masyarakat di Srodokan sebelum tahun 2010 mata pencaharian adalah bertani, ada juga yang buruh pabrik juga penambang pasir
Masyarakat Srodokan menganggap Merapi kurang dianggap sakral atau dianggap biasa saja, mungkin karena letaknya yang jauh sekitar 14 kilometer dari puncak Merapi, jadi jika masyarakat pandangannya masih ‘manut’ dengan pemerintah tentang informasi kegunungan atau keterkaitannya soal bencana letusan Merapi dan kepercayaan-kepercayaan tertentu yang terkait dengan bencana kegunungapian tidak ada karena dampaknya tidak terlalu dirasakan dengan ancamannya. Tetapi masyarakat tetap masih percaya dengan juru kunci Merapi, yaitu Mbah Marijan. Istilah jawa yang di bawa oleh masyarakat Merapi yang di gunakan adalah “Jowo di gowo, Arab digarap, Barat diruwat”, artinya walaupun kebanyakan masyarakat beragama islam, mereka tetap tidak lupa kejawen atau adat jawanya tidak pernah terlupa dan ajaran barat tetap dipakai atau digunakan.
Menurut analisis Sondong, Mbah Marijan menjadikan namanya besar dikarenakan media yang banyak memberitakannya, dan Mbah Marijan tidak mau mengungsi waktu ancaman tahun 2006 itu dikarenakan dia punya analisis sendiri, mungkin ancamanya tidak mengarah ke tempat Mbah Marijan langsung tetapi mengarah ke kali Gendol untuk ancamannya Merapi saat “Geger Boyo” Runtuh tahun 2006. Geger Boyo adalah semacam bukit yang dipercaya warga lereng Merapi sebagai benteng supaya lahar hujan dan awan panas tidak ke selatan, orang menamai Geger Boyo dikarenakan bentuknya seperti punggung buaya. Sehingga bukaan kawah Merapi mengarah ke selatan. Banyak peran penting Balai Penyelidikan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) saat itu didampingi oleh Mbah Marijan dalam menginformasi kan ancaman Merapi ke masyarakat lereng Merapi untuk mendapatkan informasi yang akurat. Sehingga informasi dari Mbah Marijan saat itu juga akurat karena tidak hanya memandang kondisi Merapi dilihat dari persepsi batiniah (Kejawen) tetapi juga didasari oleh penelitian resmi dari Pemerintah.
Merapi sebelum tahun 2010, BPPTKG Jogja biasanya mengukur dari kegempaan sebagai tremor tetapi setelah tahun 2010 pengukuran sudah tidak dapat mengacu pada itu melainkan pada tekanan gas yang di timbulkan oleh Merapi. Karena karakter Merapi sudah berubah, sebelum tahun 2010 waktu lalu karakter Merapi bersifat Impulsif (lelehan) tetapi sekarang eksplosif (letusan). Kebanyakan warga Merapi mengalami perubahan setelah erupsi Merapi 2010, yang awalnya warga menjadi petani, sekarang perubahan pencaharian menjadi berkebun, pencari pasir, bakul dikarenakan struktur lahan yang terdampak letusan Merapi.
Sondong, dalam kaitannya saat bergabung kedalam komunitas Pengurangan Resiko Bencana dalam wadah yang bernama (Paguyuban Siaga) Pasag Merapi tahun 2007 sering mengadakan pertemuan rutin setiap bulan dan banyak hal yang dilakukan untuk mensosialisasikan ke masyarakat secara langsung dalam media pertemuan warga lereng Merapi menjelaskan informasi terkini berkaitan dengan status dan ancamannya bersama BPPTKG. Bahwa Merapi berbahaya dengan ancamannya di sosialisasikan ke 4 kabupaten, yakni, Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten terutama pada KRB III. Selanjutnya sebelum letusan tanggal 26 Oktober 2010, warga mengadakan ronda setiap malamnya, dibantu dengan penggunaan alat HT untuk mendapatkan informasi dari komunitas dan BPPTKG. HT juga dapat berfungsi sebagai pendeteksi sinyal seismograph, jika ada kegempaan atau guguran dapat diketahui dengan HT.
Pasag Merapi adalah Paguyuban masyarakat Merapi yang mempunyai visi dan misi yang sama untuk mewujudkan kesadaran,kepedulian dan kemandirian dalam menjaga kelestarian kawasan Merapi.
Pasag Merapi bertujuan
1.Membangun kemandirian kesadaran dan kewaspadaan dalam pengurangan resiko bencana
2.Mendorong terwujudnya penanggulangan bencana berbasis masyarakat di Gunung Merapi
Latar Belakang dibentuknya Pasag merapi
1.Menghadapi ancaman baik primer,sekunder maupun tersier dari letusan Gunung Merapi
2.Ikut serta melestarikan kehidupan di kawasan Gunung Merapi
3.Wujud kepedulian sebagai masyarakat kawasan Gunung Merapi
4.Karena hidup di kawasan rawan bencana letusan Gunung Merapi
5.Bersama membangun tatanan sosial di kawasan Gunung Merapi
6.Sejarah penanganan bencana letusan Gunung Merapi yang tidak baik
Organisasi ini bersifat
1.Terbuka : Memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat untuk menjadi anggota Pasag Merapi
2.Sosial : Melakukan pengabdian untuk masyarakat atas dasar kesepakatan bersama
3.Mandiri : Mendorong Masyarakat melakukan tindakan kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman serta mengelola lingkungan secara benar yang bermanfaat bagi masyarakat banyak
4.Menghargai budaya lokal
Pada tgl 26 Oktober 2010 sore hari, Sondong dan teman-teman Cangkringan diundang untuk rapat koordinasi di Kemiren Srumbung Magelang, untuk membahas masalah informasi dan Komunikasi seperti apa, koordinasi masalah bantuan bagi yang ronda di wilayahnya masing-masing. Bantuan datang dari Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ‘Veteran’ yogyakarta dan Pasag Merapi dalam kaitannya pemberian bantuan kepada orang yang melakukan ronda malam dalam kesiagaan kebencanaan Merapi. Dan hasil pertemuan, warga menggunaan media sms dalam kaitanya mendapatkan dan memberikan informasi manajemen kebencanaan Merapi, jadi setiap harinya jika ada situasi seperti perubahan cuaca, atau kejadian akan di beritahukan kepada PSMB UPN mecatat informasi tersebut dan dibuat semacam kronologi kejadian letusan. Data tersebut juga masih tersimpan rapi. Tetapi pencatatan tersebut hanya dapat dilakukan hingga batas terjadinya letusan gunung Merapi dikarenakan para relawan dari berbagai wilayah lingkar Merapi juga sebagai korban bencana letusan sudah tidak bisa fokus memberikan informasi pada saat meletusnya Merapi dan saat itu juga terjadi korban tewas yakni Mbah Marijan dan 30 orang lainnya di Kinahrejo termasuk temannya Sondong.
Karena sudah tidak kondusif lagi keadaanya, Sondong pulang kerumah untuk mengecek keadaan sekitar rumah juga kampungnya dan masyarakat ternyata juga berkumpul di rumah Sondong di Dusun Srodokan untuk mencari informasi, Sondong menjadi ‘jujukan’ informasi dikarenakan saat itu hanya dia yang mempunyai HT sebagai pusat mendapatkan informasi terkini kaitannya dengan kondisi situasi Merapi. Masyarakat ingin mengetahui informasi kondisi keluarganya dan masih bertahan di rumahnya masing-masing (26/11/10). Selain itu juga, Sondong adalah anggota Karang Taruna di Desanya, dan dia juga mendata pengungsi di wilayah kelurahannya tetapi warga belum sampai menginap di pengungsian dan masih kembali ke rumahnya masing-masing karena masih sangat ketakutan dan trauma. Situasi saat itu pada tanggal 26 November 2010 sangat mencekam, Merapi masih mengeluarkan material dan suara gemuruhnya hingga menggetarkan kaca-kaca rumah dan ronda tetap masih di galakkan secara bergantian. Pengumpulan bantuan logistik dari kelurahan Kepuharjo diletakkan rumah Sondong, karena waktu itu pandangan teman-teman warga dari kepuharjo di wilayah Srodokan masih dianggap masih aman yaitu di rumah Sondong. Semakin lama semakin mencekam, beberapa waktu setelah tanggal 26 November 2010, orang lanjut usia, balita jika malam pergi ke tempat yang lebih aman, dan pemuda masih tetap tinggal dirumahnya untuk tetap meronda menjaga keamanan secara swadaya.
Saat itu sempat banjir besar di kali Opak, padahal biasanya kali tersebut tidak pernah banjir. Pasag Merapi adalah warga Merapi itu sendiri, yang telah dibekali oleh ilmu kebencanaan kegunungan diseputar Merapi. Peran Pasag Merapi saat itu juga masih tetap masih kirim-kirim informasi dari masing-masing wilayahnya, relawan Pasag Merapi sudah menjadi lagi sebagai masyarakat biasa mengurusi diri sendiri dan keluarganya dan membantu mengevakuasi masyarakat. Di Srodokan ada juga 1 orang meninggal dikarenakan tidak mau mengungsi. Beberapa jam kemudian, di Dusun Srodokan saat itu masih ujan pasir dan sudah mengkosongkan seluruh warganya menuju pengungsian walau masih belum ada kejelasan dari pemerintah di Maguwoharjo. Pemerintah desa saat itu memerintahkan warga Cangkringan untuk mengungsi di lapangan sepakbola di Maguwoharjo yang nota bene dianggap tempat yang paling aman dari bencana letusan Merapi padahal belum ada kejelasan pasti seperti apa konsep pengungsiannya dan pendataan yang masih kacau juga pemerintah kurang memanusiakannya. Kondisi warga saat dipengungsian sangat membludak terlalu rame karena pengungsian dipusatkan di Maguwoharjo, semuanya masih mengurusi diri sendiri belum sempat mencari keluarga ataupun korban yang terkena bencana juga sinyal operator seluler masih mati.
Pada tanggal 5 Desember 2010, Dusun Srodokan semua rumah sudah tertimbun pasir setinggi 6 meter. Sondong juga berdiskusi dengan keluarga dan teman-teman warga untuk berpindah ke pengungsian mandiri di wilayah kelurahan Manjung Klaten agar terurusi dengan baik sebanyak 14 kepala Keluarga. Secara tidak sengaja Sondong ketemu dengan teman-teman di Deles Klaten, Pak Sukiman. Seminggu setelah letusan besar, Sondong memutuskan untuk menongok kampungnya dari kampung sebelah, dia tidak bisa mendekat karena lahan tanah di kampungnya masih membara sangat panas akibat panas magma Merapi yang masih aktif membara. Dan tanah yang di Srodokan belum bisa ditapaki karena masih sangat panas, pohonpun masih nyala terbakar. 2 minggu setelah letusan Sondong mencoba untuk kembali ke rumahnya lagi dengan Bapaknya, dan mencoba untuk ‘tilik’ rumah yang sebagian terbakar tetapi secara kebetulan barang-barang seperti selimut dan celengan Jago yang berisi uang 2 juta 7 ratus ribu masih tetap utuh bisa dipakai untuk modal mengungsi walau recehan tetapi barang lainnya seperti motor, televisi dan lainnya sudah hancur terbakar.
Pasag Merapi otomatis berperan di lingkungannya masing-masing saat bencana letusan itu terjadi karena anggota Pasag Merapi adalah warga Merapi itu sendiri dan mereka adalah selain relawan mereka juga adalah korban bencana. Dan Jalin Merapi berperan sebagai dalam mengelola informasi dan komunikasi melalui sosial media dalam kebencanaan kegunungapian di Merapi dan merekrut beberapa mahasiswa menjadi relawan dalam hal menagani para pengungsi dan mengelola bantuan selain menginformasikan melalui media sosial. Dan saat Sondong bergabung dalam Pasag Merapi diberikan fasilitas dan dia sudah fasih akan alat-alat yang menunjang sebagai sistem peringatan dini seperti megaphone, HT, P3K hancur bersama awan panas.
Selain itu pasca Letusan Merapi, warga juga melakukan pembenahan dan perbaikan restrukturisasi ekonomi untuk melanjutkan dan memulai hidup baru kembali setelah semua rumah dan lahan pertanian terbakar dengan mengelola bantuan logistik, papan sandang dan pangan, dan juga mengikuti program padat karya dari pemerintah seperti “Cash Money Walk” atau program bersih-bersih (kerjabakti) di kampung tetapi dibayar oleh pemerintah, ada juga bantuan yang berwujud uang tunai. Tahun 2011 awal, Sondong berinisiatif membuka wisata Lava Tour selama beberapa bulan, dengan nama Batu Seribu, tetangga dan teman-temannya menawarkan jasa Tour Guide dan jasa sewa mobil offroad ataupun menjadi tukang parkir. Magnet ketertarikan yang mendatangkan orang hanya untuk melihat karena penasaran akan besarnya dampak yang di timbulkan oleh letusan Merapi yang dahsyat.
Tahun 2011, saat musim hujan sering terjadi aliran banjir lahar hujan dari material Merapi dan Sondong merasa membutuhkan alat komunikasi dengan meminta Pak Sukiman dan dia menyarakan untuk menghubungkan dengan teman-teman Jalin Merapi agar di bantu dalam halnya untuk memfasilitasi alat komunikasi ke Sondong, sehingga dibentuklah posko Jalin Merapi di Cangkringan untuk mengelola informasi dan logistik bantuan bencana Merapi. Banyak sekali warga yang terkena dampak letusan Merapi masih berada di pengungsian ataupun di lokasi-lokasi aman juga ada yang menempati menumpang di rumah keluarganya belum kembali hingga saat ini, tetapi keluarga Sondong memutuskan untuk segera kembali ke rumahnya yang telah terbakar dan tertimbun pasir setinggi 6 meter. Mereka membersihkannya dan memperbaiki rumahnya untuk ditempati kembali, alasan keluarga Sondong untuk segera kembali kerumahnya dan memulai melanjutkan hidup sedia kala adalah yang mendasar alasan ekonomi, walaupun tidak aman tetapi merasa nyaman tinggal berada di rumah sendiri daripada hunian tetap karena kehidupan di hunian tetap sangat berbeda dari segi kultur dan biaya hidup lebih tinggi di hunian tetap seperti buang sampah harus membayar, orang cenderung konsumtif yang tadinya produktif, membayar biaya air, hidupnya boros karena seperti di perumahan, apa-apa bayar. Berbeda dengan hidup di rumah semula, seperti jika ingin sayuran atau buah-buahan tinggal memetik di lahan pekarangan, dan juga bisa beternak, mengambil rumputpun tidak susah. Dan warga lain belum berani kembali ke rumahnya diarenakan masih trauma, ketakutan dengan pemerintah juga dikarenakan pemerintah melarang membangun rumah ditempat semula.
Perlu diketahui bahwa, wilayah Dusun Srodokan sebelum terdampak oleh letusan Merapi pada tahun 2010 terdapat kepala keluarga yang tinggal disana ada sekitar 204 kepala keluarga, tetapi setelah erupsi Merapi hingga saat ini yang kembali ke rumah semula hanya 2 kepala keluarga saja yang tinggal di Dusun Srodokan, yaitu orang tua dan Paman Sondong. Warga dahulu memang mendapatkan shelter (hunian sementara) terbuat dari bambu yang bersifat sementara dari pemerintah dengan anggaran 7-8 juta per rumah sebelum menjadi hunian tetap. Sekarang telah menjadi hunian tetap (huntap) dengan anggaran sekitar 30 juta untuk setiap ruamahnya setiap kepala keluarga. Semenjak itu setelah berangsur-angsur keadaaan sudah dingin, orang beralih profesi menjadi penambang, ada yang manual, ada juga yang menggunakan alat berat. Pasir yang ditambang secara manual maupun dengan alat berat adalah pasir yang menimbun rumah-rumah warga itu sendiri di jual ke orang yang membutuhkan pasir dari luar kota. Dan uang itu masuk ke masing-masing pemilik rumah yang tertimbun pasir tersebut dan uangnya digunakan untuk keperluan sehari-hari atau perbaikan hunian tetap. Harga pasir dijual dengan nominal seharga 25-30 ribu per rit, jika batu di jual seharga 40 ribu per rit, uang tersebut adalah bagi pemilik pasir tetapi orang yang menambang pasir mendapatkan bagian sebesar 90 ribu per rit dan penambang batu mendapatkan 100 ribu per rit.
Menurut Sondong, kehidupan di hunian tetap seperti potensi ternak, pertanian dan lain sebagainya akan gampang terbengkalai dan secara lambat laun kehidupan warga akan cepat mati secara psikologis dikarenakan aktivitas warga sangat berkurang drastis dengan rumah yang sekecil itu, pikiran orang dapat mengarah ke arah yang negatif soal iri dengki dengan sesama tetangga dengan cara kehidupan berubah seperti perkotaan semacam kompleks hunian perkotaan bukan kampung, hunian tetap akan efektif menurutnya paling hanya bertahan hingga 3 generasi saja.
sumber : https://www.facebook.com/notes/10152437718135480/
penulis : Nuno rahman
0 komentar:
Posting Komentar