Headline News

Read more: http://secebisilmu.blogspot.com/2013/05/cara-pasang-berita-terbaru-headline.html#ixzz2Vs7VTXPC

Kamis, 03 Juli 2014

Ragam Budaya Masyarakat Merapi

Pasca erupsi merapi membuat mereka yang tertimpa bencana kehilangan fondasi kehidupan, mulai dari lapangan pekerjaan, rumah tempat tinggal, perlengkapan hidup, hingga transportasi yaitu akses jalan yang terputus  akibat terjangan lahar merapi. Masyarakat yang kehilangan tempat tinggal, meninggalkan kampung halamannya dan mengungsi ketempat yang lebih aman. Secara umum bentuk perkampungan di daerah pegunungan yang biasa tersebar, dan interaksi diantara sesama anggota masyarakat kurang intense, sekarang berubah menjadi pemukiman yang memusat pada shelter pengungsian yang membuat interaksi serta hubungan antar anggota masyarakat lebih erat.

Gunung Merapi merupakan sebuah fenomena alam yang tidak saja dapat dijelaskan secara positif oleh para ilmuwan vulkanologi dengan segala perangkatnya seperti seismograf, teropong inframerah, pemantau lahar elektronik, dan lain-lain. Namun, selain sebagai sebuah gejala alam, bagi masyarakat Yogyakarta sebagai penduduk setempat, Gunung Merapi merupakan simbol kekuatan magis yang melingkupi Jogja dimana Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pantai Selatan, dan juga Gunung Merapi berada dalam satu garis lurus yang dihubungkan dengan simbol Tugu Jogja di tengahnya. Artinya, Gunung Merapi adalah sebuah fenomena alam yang tidak hanya dapat dijelaskan oleh sebuah pengetahuan (vulkanologi) dengan metode dan analisis rasional tetapi juga pengetahuan lokal yang berbasis pada kebudayaan masyarakat setempat. Pengetahuan-pengetahuan tersebut melibatkan berbagai sistem tanda yang kontekstual yang berimplikasi pada cara masyarakat setempat berinteraksi dan menginterpretasikan lingkungan sekitar mereka.
Gambar tgl 19 Mei 2013, di puncak gunung merapi yang tampak magma mendidih berada di kawah bekas letusanGambar tgl 19 Mei 2013, di puncak gunung merapi yang tampak magma mendidih berada di kawah bekas letusan
Bencana merapi memberikan dampak yang sangat luas, diantaranya dampak pada aspek sosial, yaitu kematian pada masyarakat sekitarnya. Selain itu akibat erupsi merapi, petani kehilangan mata pencaharian akibat kerusakan lingkungan (lahan tertutupi abu dan ternak mati). Aspek kultural menjadi pertimbangan utama yang harus dilkukan dalam upaya mencegah dampak letusan merapi. Hubungan yang tercipta dan sistem budaya yang mengikat masyarakat dengan lingkungan ini yang sangat sulit memisahkan masyarakat terutama petani dengan tempat awalnya. Budaya yang terbentuk dalam sejarah turun temurun dalam kehidupan masyarakat dengan merapi mempengaruhi gaya hidup, menuntun pola perilaku dan kondisi kejiawaan masyarakat lereng merapi. Lingkungan sekitar merapi sebelum erupsi sangat indah dan terutama lahannya yang sangat subur, interaksi antar masyarakatpun sangat baik. Salah satu alasan petani tidak mau dipindahkan adalah karena kondisi tersebut. Petani yakin bahwa, kemurkaan merapi merupakan kehendak Tuhan sehingga keselamatan adalah kehendak Tuhan, pemahaman ini sejalan dengan konsep hidup masyarakat Jawa yaitu ‘Nerimo ing Pandum’ dimana konsep ini menggambarkan pola hidup orang jawa yang pasrah dengan segala keputusan yang telah di tentukan oleh Tuhan. Orang jawa memahami betul bahwa setiap kehendak ada yang mengatur, sehingga kita tidak dapat mengelak, apalagi melawan semua itu. Konsep ini merupakan satu point yang harus diperhatikan pemerintah, sehingga pendekatan yang dilakukan benar dan tepat, tanpa ada gesekan yang dapat menimbulkan konflik. [Siti Tan/BPPTP]

Masyarakat Merapi mempunyai pola pikir sederhana yang mengedepankan kebersamaan, gotong royong, tepo seliro, dimana terlihat dalam pengelolaan tradisi setiap dusun seperti upacara adat dan kesenian. Sebagai implikasi dari cara pandang masyarakat Jawa tentang alam beserta segala isinya tersebut maka masyarakat Jawa sebagai aktor yang menjalani kehidupan selalu menempatkan dirinya pada posisi di bawah kehendak Sang Maha Penguasa Alam. Mereka selalu mengutamakan keselarasan (harmoni) dengan alam sehingga dapat dicapai keselamatan dan kesejahteraan hidup. Kebudayaan sebagai pedoman hidup mereka pun berisi tentang pengetahuan-pengetahuan untuk menginterpretasi lingkungan alam dan lingkungan sosial yang ada disekitar mereka.

Disamping konsep diatas, kepercayaan tersebut sebagai bentuk membudaya dalam berinteraksi meyakini mereka untuk tetap tinggal. Bahwa erupsi merapi hanya bagian dari dinamika yang pada akhirnya akan memberikan kesejahteraan bagi warga lereng merapi. Keyakinan akan kesejahteraan yang terberi akan akan sulit diruntuhkan dan termasuk bagian dari aspek psiko-kultural yang tinggal dibenak warga. Secara logika-rasional, dalam jangka panjang pasca merapi, tanah yang terkena abu vulkanik akan meningkatkan kesuburan tanah. Kesuburan tanah berarti berbicara mengenai pengejawantahan dari pilihan frasa ‘sumber kehidupan’. Tanah adalah kehidupan akan memberikan kontribusi kesejahteraan yang kesuburannya ‘dijamin’ oleh merapi pasca erupsi.
Gunung Merapi telah menjadi bagian penting bagi kehidupan dan kebudayaan masyarakat sekitarnya. Kebudayaan yang berisi pengetahuan yang diperoleh masyarakat sekitar Merapi menempatkannya pada posisi yang penting dan sakral dalam kehidupan makrokosmos mereka. Dengan pengetahuan itu pula masyarakat sekitar mampu membaca dan menginterpretasi tanda-tanda dari gejala alam yang muncul dari Gunung Merapi. Gejala alam yang muncul akhir-akhir ini seperti keluarnya lahar dan awan panas (wedhus gembel) dari Merapi merupakan indeks yang dapat diinterpretasi secara beragam baik dari ahli vulkanologi, pemerintah, mau pun masyarakat sekitar. Bagi ahli vulkanologi dan pemerintah indeks itu berarti tanda bahwa Merapi dalam kondisi berbahaya dan akan meletus sehingga masyarakat sekitar harus segera mengungsi ke tempat yang aman. Sementara bagi warga masyarakat sekitar Merapi indeks itu bukan tanda bahwa Merapi akan meletus sehingga mereka menolak untuk diungsikan. Dalam kognitif mereka indeks Merapi dapat diinterpretasikan secara ‘sensitif’ dan menghasilkan makna yang mandalam.

Membangun budaya swadaya atau sikap untuk lebih mengenali diri sendiri dengan perspektif yang lebih baik, lebih jujur dan lebih tepat, berupaya untuk mengembangkan sifat kemandirian dan rasa percaya diri. Kerjasama dalam keseharian berupa gotong royong merupakan bagian dari sifat mandiri secara kolektif dalam mencapai tujuan secara efektif dan rasional. Salah satu pendekatan yang bisa dilakkan adalah memperkenalkan informasi-informasi yang tepat tentang tanda-tanda alam, bentuk-bentuk penyelamatan diri dan kecakapan mengatasi kepanikan. Hal ini dapat menambah keharmonisan dan menghilangkan ego individu satu dengan yang lainnya.



sumber : https://www.facebook.com/notes/nuno-rahman/ragam-budaya-masyarakat-merapi/10152507233330480

0 komentar:

Posting Komentar