Headline News

Read more: http://secebisilmu.blogspot.com/2013/05/cara-pasang-berita-terbaru-headline.html#ixzz2Vs7VTXPC

Senin, 20 Februari 2012

Kami Mengungsi bukan di ungsikan

Oleh: Sukiman Mochtar Pramono

Saat erupsi G. Merapi tahun 2010 lalu saya bersama warga dusunku memilih mengelola pengungsian secara mandiri bersama warga dan pemerintah desa Manjung. Ternyata lebih enak mengungsi secara mandiri. Selain lebih manusiawi, selama masa pengungsian itu kami bisa merawat ternak milik kami. Di pengungsian pemerintah ternak tidak masuk daftar pengungsi untuk dilayani. Inilah catatanku tentang pengungsian mandiri kami.

Deles nama dusunku, masuk wilayah administratif Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, Jawa Tengah. Dusunku berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III, karena berjarak empat kilometer dari kawah G. Merapi dan berada di tepi Sungai Woro. Artinya, jika G. Merapi meletus dusunku dapat menjadi daerah terkena lagsung awan panas dan lava pijar.

Truk Pinjaman
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) menyatakan status G. Merapi menjadi “Awas” pada tanggal 25 Oktober 2010 pagi. Seandainya salah satu warga dusunku punya mobil untuk mengangkut lansia, anak-anak dan orang sakit kami pasti sudah mengungsi saat itu juga. Entah kenapa tidak ada mobil pengangkut dari pemerintah sampai ke dusun kami. Rupanya kami harus bertahan semalaman di dusun sampai mendapatkan mobil pengangkut kelompok rentan. Sepanjang malam itu suara gemuruh letusan dari kawah G. Merapi terdengar jelas di dusunku. Sepanjang malam itu pula semua warga dusunku terjaga dengan perasaaan takut dan bingung.

Pagi hingga siang 26 Oktober 2010 belum ada letusan dari kawah G. Merapi tetapi gemuruh dari dalam gunung disertai goncangan gempa beberapa kali kami dengar dan rasakan. Sorenya kami bisa mengungsikan kelompok rentan setelah salah satu warga dusun mendapat pinjaman satu buah truk pengangkut pasir. Truk pinjaman itu digunakan hanya untuk mengangkut kelompok rentan, warga lainnya mengendarai sepeda motor. Tujuan langsung ke tempat penampungan pengungsi di kantor kecamatan Kemalang.

Letusan disertai awan panas ke arah selatan atau Kaliadem dan Kinahrejo terdengar beberapa menit setelah pengungsi terakhir terangkut sekitar pukul 17.00. Meski takut, kami merasa aman karena berada di arah tengara G. Merapi. Letusan saat terjadi berkali-kali selama lebih dari satu jam. Setiap letusan disertai awan panas dan asap membubung tinggi di atas puncak G. Merapi. Rangkaian letusan diakhiri bunyi dentuman keras. Begitu keras sampai memaksa kami menutup telinga.

Setelah letusan mereda aku dan belasan pemuda lainnya kembali dusun untuk menjaga ternak serta harta benda. Kami harus menjaga keamanan kampung kami sendiri karena tidak ada aparat keamanan mau berjaga disana. Dari pos-pos ronda di sudut-sudut dusun kami berjaga sambil terus memantau perkembangan situasi. Radio komunitas Lintas Merapi tanpa henti menyiarkan informasi-informasi dari BPPTK. Agar bisa melarikan diri setiap saat dari ancaman letusan kami bersepakat agar satu orang berjaga dengan menggunakan satu sepeda motor. Lucunya, ada beberapa sepeda motor isi bensinnya tidak sampai seliter. Beruntung sepanjang malam itu G. Merapi seperti tertidur.

Evakuasi Sapi
Pagi 27 Oktober 2010 kami dikagetkan oleh arak-arakan warga dari pengungsian. Rupanya mereka kembali ke dusun untuk mencari rumput dan memberi pakan ternak masing-masing. Demi ternak mereka melupakan rasa takut pada malam-malam sebelumnya.

Mereka datang menumpang truk pasir, sebagian lainnya berjalan kaki. Tanpa rencana atau persiapan penyelamatan diri jika sewaktu-waktu terjadi letusan. Lalu bagaimana cara mereka menyelamatkan diri jika terjadi letusan? Ini sangat berbahaya. Pada status “Awas” G. Merapi bisa kembali meletus kapan saja. Bisa saja letusan lebih besar dari kemarin dan tidak seorang pun mampu memperkirakan arah letusannya. Letusan dan awan panas kemarin ke arah selatan, bisa saja hari ini ke arah tenggara persis di posisi kami.

Rupanya satu hal kecil tetapi sangat penting telah kami lupakan saat memutuskan mengungsi. Bagi orang dusun seperti kami ternak sapi dan kambing tidak bisa dimaknai semata-mata hanya sebagai hewan peliharaan atau tabungan. Ada hubungan istimewa -teramat rumit untuk dijelaskan- antara orang dusun dengan ternaknya.   

Setelah bersepakat dengan pemilik ternak kami kembali meminjam truk untuk mengangkut ternak-ternak ke lokasi lebih aman. Hari itu juga sekitar tigaratus ekor sapi dan seratus kambing berhasil kami ungsikan ke Desa Keputran dekat dengan lokasi pengungsian. Ini pertama kalinya kami memindahkan sapi dan kambing dalam jumlah besar dengan satu truk dan dalam waktu sekitar tiga jam saja.

Sapi dan kambing dibuatkan kandang darurat dengan terpal di halaman dan kebun-kebun kosong warga desa Keputran sekitar lokasi pengungsian kantor kecamatan Kemalang. Jaraknya lebih kurang 16 kilometer dari puncak G. Merapi. Selain aman juga dekat pengungsian sehingga mempermudah perwatan oleh pemiliknya. Soal pakan ternak kami mendapat bantuan dari banyak pihak berupa jerami kering dan konsentrat.

Pak Camat Kemalang
Letusan G. Merapi terjadi terus-menerus sejak hari itu. Tetapi kami tetap bertahan di dusun menjaga keamanan. Sampai akhirnya pada tanggal 5 November 2010, letusan sangat besar dan membuat kami ketakutan. Awan panas mengarah ke Sungai Gendol dan Woro di sebelah barat dusun. Hempasan awan panas, abu panas disertai kerikil dan pasir menerjang hutan sekitar seratus meter di atas dusun kami. Suara gemeretak hutan pinus membuat kami berlarian menyusul ke pengungsian.

Sampai di pengungsian, kami mendapati cerita mengenaskan. Kantor pengelola pengungsian kecamatan Kemalang sudah ditutup dan dipindahkan ke Pusdiklatpur di kecamatan Wedi, Klaten atau sekitar limabelas kilometer arah selatan. Pada hari itu BPPTK menyatakan daerah bahaya erupsi G. Merapi diperluas menjadi 20 kilometer dari puncak G. Merapi. Semua lokasi pengungsian dan permukiman di kawasan kurang dari 20 kilometer harus dikosongkan.
Warga dusun Deles dan Petung sejumlah 556 jiwa ditinggalkan oleh pengelola pengungsian karena tidak mau ikut pindah ke Pusdiklatpur jika ternak sapi dan kambing mereka tidak dibawa serta. Bagi pengelola pengungsian mungkin keinginan itu hal aneh dan tidak wajar.  Ketua-ketua RT Deles dan Petung juga sudah memohon kepada agar diijinkan membawa ternak mereka ke Pusdiklatpur. Jawabannya tetap saja, tidak. Lalu warga menyatakan dengan tegas jika sapi tidak bisa ikut, mereka akan tetap tinggal. Atas pernyataan itu camat Kemalang sempat mengancam, “ Jika tetap di sini Pemerintah tidak bertanggungjawab!” Kalau rakyat jelata seperti kami saja bisa memahami keinginan mereka, kenapa pemerintah tidak bisa?

Pindah Ke Desa Manjung
Letusan-letusan Merapi sejak hari itu semakin menakutkan disertai getaran dan dentuman keras sekali. Saya juga mendapat peringatan langsung dari beberapa kawan agar menjauh dan keluar dari jark 20 kilometer.

Dengan bantuan lima buah truk bantuan Polsek Kemalang kami memindahkan warga kami bersama ternaknya ke desa Manjung, Kecamatan Ngawen.  Di desa ini kami diterima dengan tangan terbuka. Setiap pengungsi dipersilakan memilih rumah induk semang. Makanan disiapkan dengan menu sama seperti induk semang. Pengungsi anak-anak dijamin pendidikannya dan digabung ke kelas-kelas di sekolah dasar san sekolah menengah setempat. Lapangan bola disulap menjadi kandang-kandang darurat untuk ternak. Soal pakan ternak tidak pusing karena kebun luas dengan rumput hijau dan persediaan jerami melimpah. Layanan kesehatan disediakan di puskkesmas pembantu dengan tenaga medis dan obat-obatan. Amanto, Lurah Desa Manjung bertanggungjawab langsung pada pengelolaan seluruh kegiatan di pengungsian bersama kami para pengungsi. Nyaris semua kebutuhan pengelolaan pengungsian dipenuhi bersama oleh kami para pengungsi bersama warga desa Manjung. Karena kenyataan itu pengungsian ini boleh disebut pengungsian swadaya.  

Nyaman dan tak kekurangan, itu kami rasakan betul selama duabelas hari menjadi pengungsi di desa manjung bisa hidup seperti menjadi warga desa Manjung sendiri. Terlebih ternak-ternak kami juga selamat dan tidak sampai dijual karena bingung cara menyelamatkannya.

Booking Tempat
Status G. Merapi berangsur-angsur diturunkan dari awas menjadi siaga lalu waspada. Saatnya kami kembali ke dusun menata dan melanjutkan keseharian hidup kami.  

Acara pelepasan begitu emosional. Dalam sambutannya camat Ngawen menyatakan akan menerima kami jika di desa manjung sewaktu-waktu aktifitas G. Merapi meningkat dan membahayakan keselamatan warga dusun Deles dan Petung. Saling bersalaman, berpelukan, dengan tangis, seakan tak rela terpisahkan.  

Saya masih ingat kata-kata pak Amanto, Lurah Manjung kepada saya ketika bertemua beberapa hari setelah berpisah. “Mas ayo di pikir piye carane wargamu lan wargaku nyawiji mbangun bebrayan,mbangun kesiapsiagaan koyo pengungsian mandiri, mergo merapi mesti ngene maneh mbuh kapan.” (Mas ayo kita pikirkan cara agar wargamu dan wargaku bisa hidup rukun bersama dan membangun kesiapsiagaan dan pengungsian mandiri karena Merapi pasti akan meletus kembali entah kapan).

Bukan bermaksud mengecilkan peran pemerintah, tetapi rasanya pengungsian mandiri menjadi pilihan paling masuk akal bagi kami. Rencana-rencana kemudian berkembang untuk  menata rencana pengungsian mandiri kelak jika saatnya tiba. Memelihara hubungan baik dengan pemerintah desa dan warga Manjung adalah sebagian dari cara mewujudkannya.

--dituliskan kembali oleh ipung, 20/02/12 


2 komentar:

  1. Tulisan yang sangat inspiratif. Sekali lagi tanpa bermaksud mengabaikan peran pemerintah, pengungsian mandiri bisa dipromosikan untuk menjadi strategi mitigasi bencana erupsi merapi. Sangat menarik jika kedua desa tersebut menjalin kerjasama yang didokumentasikan dalam MoU tentang mitigasi bencana. Banyak praktek pengungsian mandiri yang bertumpu pada partisipasi warga pengungsi dan warga desa tuan rumah. Di wilayah barat Sleman (dari Kronggahan sampai seyegan) banyak masjid yang menampung para pengungsi dan menampilkan keistimewaan Jogja yang penuh persaudaraan dan kepedulian.

    BalasHapus
  2. Menarik sekali!!!
    Kerjasama antar desa/kampung dalam menangani pengungsian seharusnya bisa didukung oleh pemerintah karena itu sebetulnya akan sangat meringankan beban pemerintah juga. Mengapa sekian banyak dana dipakai untuk membangun gedung-gedung penampungan pengungsi walaupun kapasitasnya tidak cukup untuk menampung semua pengungsi? Konsep tentang pengungsian dan management camp harus diubah.

    Djoni

    BalasHapus