Headline News

Read more: http://secebisilmu.blogspot.com/2013/05/cara-pasang-berita-terbaru-headline.html#ixzz2Vs7VTXPC

Senin, 12 Agustus 2013

Refleksi Hari Anak - Perlindungan Anak Merapi



Pada erupsi November 2010, ratusan ribu penduduk mengungsi nyaris sebulan. Dalam suasana kacau semua pihak berusaha menyediakan layanan terbaik bagi para pengungsi. Sandang, pangan, hunian atau penampungan, layanan kesehatan, air dan sanitasi, semua tersedia. Pengungsi balita dan lansia mendapat perhatian khusus berupa pemeriksaan kesehatan, tindakan medis jika diperlukan, serta makanan bergizi sesuai kebutuhan.
Pengungsi anak-anak dan remaja juga mendapatkan jaminan pendidikan. Mereka dilayani agar bisa terus bersekolah di masa darurat. Pengelola pengungsian menyelenggarakan sekolah darurat di pengungsian atau memfasilitasi pengungsi anak agar bisa menumpang di sekolah terdekat. Di sela-sela sekolah mereka dilibatkan dalam pengelolaan pengungsi atau bentuk kegiatan pemulihan mental lainnya.
Sepertinya tidak ada masalah. Anak Merapi tetap sehat dan memperoleh pendidikan karena itu hak mereka dan harus dipenuhi dalam situasi apa pun.
Pertengahan Juni lalu saya mendapat kesempatan istimewa berbincang dengan empatpuluhan anak-anak dan remaja dari desa Krinjing, Sumber dan Ngargomulyo. Ketiga desa ini berada di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Ketiganya juga terletak di KRB 3 atau daerah berpotensi terlanda bahaya langsung dari erupsi Merapi (awan panas, lava pijar, hujan abu dan kerikil-pasir).
Di pertemuan itu mereka saya ajak berdiskusi tentang perlindungan anak di masa darurat. Tentu saja dengan mengambil kasus pengalaman mereka saat mengungsi tahun 2010. Saat erupsi 2010 itu mereka duduk di kelas lima sekolah dasar hingga kelas duabelas.
Agar temuan pengalaman tersistematika, saya ajak mereka menggunakan metode body mapping. Secara berkelompok mereka menggambar bentuk orang lengkap dengan mata, telinga, hidung, mulut, tangan dan kaki.  Lalu mereka menuangkan pengalaman-pengalaman buruk mereka alami selama masa pengungsian secara tertulis. Jika pengalaman itu mereka lihat maka di tuliskan di bagian mata pada gambar. Jika pengalaman itu mereka dengar maka dituliskan di bagian telinga.
Baru sampai di bagian mata, saya sungguh takjub dengan pengalaman mereka. Anak-anak dan remaja ini menuliskan, mereka melihat orang dewasa melakukan hubungan seksual di penampungan pengungsi. Lanjut ke bagian telinga, mereka menuliskan mendengar kata-kata kotor dalam perang mulut antarpengungsi.
Miris, syok, saya terduduk dan diam. Beberapa menit mereka menunggu sampai saya bisa kembali berkata-kata melanjutkan proses.
Lanjutannya ternyata sama parahnya. Remaja perempuan merasa risih dan khawatir karena diganggu para relawan laki-laki. Juga khawatir ketika akan buang air atau mandi karena pernah diintip anak laki-laki sesama pengungsi.
Di akhir proses, setiap kelompok diminta menjelaskan pengalaman-pengalaman itu lalu ditanggapi kelompok lainnya. Semua kelompok membenarkan pengalaman melihat orang dewasa berhubungan seks di pengungsian. Astaga!
“Apakah dilaporkan dan mendapat tanggapan dari pengelola pengungsian?” Tanya saya. Mereka mula-mula hanya diam, lalu beberapa orang menggeleng.
Anak-anak dan remaja ini hanya bagian kecil dari pengungsi seusia mereka saat erupsi 2010. Secara fisik mereka bisa selamat dari bahaya erupsi. Tetapi kejiwaan mereka terlukai di pengungsian. Dan semua itu diakibatkan oleh ke-tidak dewasa-an kita sebagai orang dewasa.
Ketiadaan penanganan pada pengalaman buruk anak-remaja pengungsi juga menyebabkan luka dan dampak tersendiri. Saya bukan ahli kejiwaan, tetapi saya seorang ayah. Saya tidak akan terima jika anak saya mendapatkan pengalaman serupa itu. Dalam perspektif lebih dalam muncul pertanyaan; akan menjadi seperti apa jika seorang anak tumbuh dewasa dengan luka seperti itu?
Merapi pasti akan meletus kembali entah kapan. Anak-anak dan remaja akan kembali mengungsi. Mumpung hari ini (23/07/13) Hari Anak mari kita berefleksi. Akankah kita membiarkan pengalaman buruk itu kembali terjadi di Merapi kelak? Bagaimana di daerah-daerah rawan bencana lain di Indonesia, juga mungkin dalam kehidupan keseharian masyarakat kita; sudahkan kita melindungi anak-anak kita dari pengalaman buruk seperti itu? Mari lindungi anak-anak kita dari tindakan kita sendiri. (Ipung Jogjaangler)

2 komentar: