Mbah Marjo Utomo (80an tahun), kesehariannya bekerja sebagai petani, ngarit (merumput) dan ambil kayu di hutan yang tersebar di lereng Merapi. Dalam bertani Mbah Marjo menanam tanaman seperti, telo bonggol (singkong), luwung (telo rambat), gendruk (tales), lombok, buncis, sawi dan tanaman lainnya. Mbah Marjo sambil mengingat waktu jaman dulu antara tahun 1994, cerita itu diawali, “elingku biyen loh mas, iki aku cerito ngoko, aku nek boso ora iso, Indonesia ora iso, mergo dasare biyen ora sekolah” (Saya bercerita berbahasa Jawa ngoko, karena berbahasa Jawa halus tidak begitu lancar dan tidak bisa berbahasa Indonesia karena tidak pernah mengenyam bangku sekolah), ingatnya. Mbah Marjo punya mimpi, di mimpinya ada orang tua menemui mbah marjo, dia memberitahu “Anakku sing tak pangku sak bendino awan bengi, iki sesuk kiro-kiro jam 10 punjul sitik kurang sitik, podo sumingkiro ning Kulon, iki sing marakke Eyang Sapu Jagad Merapi arep arak-arakan ning Mbok Nyai Roro Kidul” kira-kira begitu dalam bahasa jawa, yang artinya anakku yang saya pangku setiap hari siang dan malam, besok kira-kira antara jam 10 an, menyikirlah kearah barat, dikarenakan Eyang Sapu Jagad Merapi akan mengadakan arak-arakan ke Mbok Nyai Roro Kidul.
Dikarenakan memang saudara Mbah Marjo, akan menggelar pesta pernikahan dan menceritakan mimpinya semalam kepada saudara-saudaranya termasuk ke adik, kakak dan paman mbah Marjo sendiri tidak percaya cerita dari hasil mimpinya. Malah yang dianggap Bapak (dianggap tua) oleh Mbah Marjo nyeletuk, “le koe ngimpi kui mergone koe wes madang wareg, madang enak karo tempe tahu, karo iwak, ngombe wedang ono lemper, ono roti, kui kepenak ngimpimu. Ngimpimu kui ra dadi sebab” (kamu mimpi karena kamu sudah makan kenyang, makan enak dengan tempe tahu, dengan ikan, minum teh dengan cemilan lemper, ada roti, mimpimu enak. Ngimpimu tidak akan menjadi kenyataan).
Mbah Marjo juga bercerita bahwa, jaman dahulu ketika kakeknya masih hidup pernah bertutur kalau Dusun Turgo itu belum pernah mengalami perlintasan jalur letusan material Merapi, kalaupun Merapi “Ngeduke Bahan” (mengeluarkan material) itu punya perlintasan sendiri yaitu melalui sisi wetan ( Klaten) dan kulon (Magelang) Merapi. Dalam mimpinya Mbah Marjo memang mempunyai kewajiban untuk menyampaikan mimpinya soal perkiraan adanya tanda-tanda akan ada letusan Merapi yang akan mengarah ke daerah Turgo ke tetangga-tetangga dan saudara-saudara atau warga terdekat entah nanti dipercaya atau tidak itu terserah warga. “Saya mimpi itu bunganya orang tidur, yang penting mimpi saya sudah berusaha untuk saya sampaikan kepada warga yang lain, perkara akan di percaya atau tidak itu sudah bukan menjadi beban saya, dan harapan saya tidak terjadi apa-apa. Kalau toh nanti akan ada kejadian, Saya sudah memberitahukan sejak awal dan sudah tidak lagi menjadi beban saya karena saya sudah berusaha menyampaikan kepada tetangga-tetangga”, pungkasnya. Tetapi banyak kawan-kawan Mbah Marjo yang di beritahu soal mimpinya malah menyangkal tidak percaya.
Pada akhirnya kejadian itu benar-benar terjadi, tanda-tanda itu dirasakan Mbah Marjo, letusan material dan awan panas Merapi meluncur menerjang Bukit Turgo dan kawasan Dusun yang berjarak sekitar 4 kilometer itu. Bertepatan dengan itu, saudara Mbah Marjo sedang menyelenggarakan pernikahan. Mbah Marjo ingin menyelamatkan diri dari luncuran awan panas Merapi, tetapi saat itu para undangan sudah berdatangan di rumah saudaranya yang sedang ada acara pernikahan, sehingga rasa pekewuh menyelimuti hatinya. Perasaan Mbah Marjo saat itu berkecamuk, bisa jadi Jika tidak pergi menyelamatkan diri, perasaan dia nanti bisa menjadi buah bibir dan pasti akan diperingatkan oleh tetangga-tetangga karena sedang ada acara perhelatan nikahan saudaranya, padahal warga dan para tetangga sudah berkumpul untuk hadir menghormati acara tersebut. Akhirnya tekad Mbah Marjo, dia percaya pada yang Kuasa (Tuhan), karena mati hidupnya di pasrahkan kepada Tuhan apapun yang terjadi sehingga dia tetap tinggal dan tetap mengurusi acara nikahan itu walau perasaan berkecamuk tidak karuan. Dan atas kejadian letusan Merapi itu, Mbah Marjo sekujur tubuhnya terlumat oleh awan panas dan pingsan tetapi dapat diselamatkan, anak dan cucunya terkena juga hembusan ganasnya awan panas hingga menewaskannya. Mbah Marjo dibawa kerumah sakit Dr. Sardjito selama 3,5 bulan dengan luka bakar yang parah dan berjuang untuk mempertahankan jiwa raganya agar tetap bisa hidup. Dia juga melihat dari tanda-tanda alam diantaranya, banyak kijang berlarian turun untuk mencari makan di kebun warga termasuk kebunnya Mbah Marjo sendiri, yang biasanya mencari makan di atas bukit. Mungkin karena suhu bukit Turgo juga terimplikasi hawa yang memanas, oleh sebab itu binatang pada turun gunung.
Sedikit mengulas mimpi Mbah Marjo, dia berpersepsi yang muncul dalam mimpinya adalah sesosok dalam dunia gaib “sing baurekso” (yang berkuasa) gunung Turgo. Gunung Plawangan dan gunung Turgo menurutnya adalah jaman dahulu adalah gunung tertua sebelum gunung Merapi ada yang saat ini muncul. Warga Turgo sangat mempercayai bahwa gunung Merapi Tua (Gunung Bibi/Bibi Biyung), yaitu Gunung Plawangan dan gunung Turgo. Dan masyarakat juga mempercayai bahwasanya selama ini letusan Merapi dan dampak yang di akibatkannya tidak akan melalui Dusun turgo karena terlindungi oleh Gunung Turgo yang dianggap lebih tua dari gunung Merapi. Kepercayaan ini turun menurun hingga sekarang. Dengan seijin yang Maha Kuasa, Mbah Marjo di jadikan sebagai penyambung komunikasi antara penguasa Merapi (Baurekso) dengan warga Dusun Turgo. Setiap kali jika Merapi akan meletus dan ‘ngedunke bahan okeh’ (mengeluarkan material banyak), dia selalu diberitahu tanda-tanda (peringatan) sebelumnya melalui mimpi. Dia juga antara percaya dan tidak, tetapi pada tahun 1994 telah terbukti Merapi meletus pada jam 10:30 WIB dan sesuai apa yang disampaikan dalam mimpinya. Dari situ, Mbah Marjo sangat mempercayainya bahwa dengan seijin yang Maha Kuasa mimpinya sebagai peringatan dini bahwa Merapi akan Meletus. Begitu juga jika sebelum Merapi meletus dan mengeluarkan material yang sangat banyak, dia selalu mendapat mimpi sebagai pemberitahuan (peringatan) dini jika nanti suatu saat Merapi akan meletus.
Ini dibuktikan saat dia mendapatkan mimpi dan langsung menceritakan kepada anaknya bahwa akan ada letusan Merapi dengan tanda-tanda sesuai apa yang deskripsikan dari mimpinya tersebut, kejadian ini terbukti benar adanya, Merapi pada akhirnya meletus sesuai apa yang di ceritakan dalam mimpinya itu. Sebetulnya warga Turgo pantangan dalam menyebutkan ‘Merapi meletus’, jadi mereka menyebutnya ‘ngedunke material’ (menurunkan material dalam hal ini material gunung berapi) seperti awan panas, abu vulkanik dan pasir ataupun batu/kerikil. Jika merapi itu akan punya ‘hajat’ (meletus) besar, setelah mendapatkan tanda-tanda melalui mimpinya itu dia di datangi seseorang yang memakai keris atau ‘pendok’, memakai celana tetapi agak naik dari mata kaki (celana tanggung), memakai ikat gadung melati, sikepan, sejak di datangi orang seperti itu tahun 2006 dan 2010 sosok itu orang yang seperti itu muncul kembali melalui mimpinya. Sosok yang di mimpi tersebut kemunculannya di status saat Merapi dalam keadaan siaga dan harinya saat itu adalah jumat pon. Mbah Marjo ingin mendapat peringatan dini ini melalui mimpi, bahwa tidak hanya dari tanda-tanda sirine yang biasa dipergunakan oleh warga untuk memberikan informasi bahwa Merapi dalam keadaan bahaya dan dianjurkan warga untuk menjauhinya. Karena setiap orang mempersepsikan tanda-tanda peringatan dini ada berbagai macam dan berbeda-beda, berangkat dari situlah Mbah Marjo mengambil kesimpulan bahwa ada benarnya jika apa yang disampaikan dalam mimpi tersebut benar terjadi. Selalu saja mendapatkan peringatan atau tanda-tanda, tidak semua orang tahu dan tidak semua orang bisa menterjemahkan tanda-tanda dari mimpinya Mbah Marjo. Begitu pada tahun 1994, Mbah Marjo menceritakan kepada orang-orang sekitar di lingkungannya tetapi orang-orang tersebut menyepelekannya, malah beranggapan dan mengira bahwa Mbah Marjo itu adalah hanya sebuah bunga tidur karena mereka belum pernah mengalami bahwa letusan Merapi mengarah ke wilayah Turgo. Letusan klasik Merapi selalu mengarah ke wilayah barat semua, tetapi pada tahun 1994 pada akhirnya bisa membukakan bahwa siklus Merapi itu tidak hanya mengarah di barat saja tetapi bisa juga mengarah ke barat daya (Turgo). Pasca tahun 1994 juga ada letusan yang mengarah ke selatan, adanya perubahan siklus ini bisa mematahkan teori-teori PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi). Kepercayaan masyarakat Turgo dahulunya memang Merapi tidak akan meletus yang mengarah ke Turgo karena sudah ada sesepuhnya yang menghalanginya yaitu bukit Turgo tersebut, akhirnya berkata lain bahwa Merapi letusannya melalui sungai Boyong.
Pada jaman dahulu tahun 1994, pada hari jumat pukul 10.30 WIB terjadi letusan besar. Saat itu wilayah Turgo sudah terbakar semua tersapu awan panas yang di timbulkan oleh gas yang dikeluarkan oleh Merapi, semua orang melarikan diri tunggang langgang untuk menyelamatkan jiwanya masing-masing. Waktu itu Mbah Marjo sedang memasukkan sapi ke kandang untuk di beri makan. Sebelum sempat melarikan diri Mbah Marjo ternyata terkena sapuan awan panas dan tidak sadarkan diri. Saat terbangun posisinya sudah berada di rumah sakit Sardjito dan menyadari bahwa sekujur tubuhnya terbakar, tangan, kaki, kuping dan hampir semua kulitnya mengelupas dan membekas hingga kini. Pihak rumah sakit Sardjito sempat memberikan penanganan dengan mengoperasi plastik pada diri Mbah Marjo. Letusan itu menelan korban jiwa sekitar 30 orang dusun Turgo saja dan keseluruhan korban meninggal mencapai 68 orang dari berbagai daerah sekitar Merapi saat itu.
Kendati jauh berlipat kecilnya dari Merapi, namun warga sekitar meyakini bahwa bukit Turgo itulah yang selama ini membentengi dan menyelamatkan mereka saat Merapi punya gawe (erupsi). Tetapi keyakinan warga tersebut di bantahkan oleh alam, di saat Merapi punya ‘Gawe’ tak terelakkan pula Dusun Turgo luluh lantah. Mbah Marjo sudah memberikan peringatan sebelum kejadian tetapi warga tidak percaya. Pada tahun 2006, Mbah Marjo juga memberikan peringatan kepada warga bahwa akan ada ‘Gawe’ besar yang akan di helat oleh Merapi, dan warga Turgo saat itu mempercayai apa yang di katakan Mbah Marjo, kemudian warga cepat-cepat untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Sehingga di hari ‘Gawe’ Merapi, tak ada korban yang menimpa warga Turgo.
Asal Muasal Pasag Merapi
Setelah dilakukan perawatan di rumah sakit Sarjito selama sebulan, Mbah Marjo sudah dianggap sehat dan sembuh, kembalilah ke rumahnya di Turgo. Karena rumahnya sudah hancur tak bersisa Mbah Marjo mendirikan gubuk kecil sebagai tempat tinggal sementara dan melanjutkan membangun kandang sapi juga sebagai tempat masak dan kebutuhan dapur lainnya sekaligus untuk menjaga ternaknya. Sedikit demi sedikit, Mbah Marjo membenahi rumahnya, membeli genteng sebagai atap rumah yang awalnya atapnya dari anyaman daun kelapa. Setelah semuanya normal atas amukan Merapi, rumahnya sudah layak sebagai tempat tinggal dan rumah itu malahan dijadikan sebagai tempat orang untuk singgah yang menuju bukit Turgo yang ingin melakukan tirakatan dan berdoa di bukit tersebut. Antara tahun 1995-1996, Mbah Marjo membangun rumahnya secara permanen hingga sekarang. Nah, saat tahun 1997, awal Mbah Marjo bertemu dengan Kang Eko Teguh (ET) dan mengadakan pertemuan pertama Pasag Merapi (Paguyuban Sabuk Gunung Merapi) di rumah ini juga. Pertemuan itu di gagas, mengundang warga Merapi yang terkena imbas letusan gunung teraktif itu. Dikutip tanggal 27 Februari, 2007,
bbc.co.uk, ketika para petani Lereng Merapi membentuk organisasi ini pada tahun 1997, modal mereka hanyalah kemauan bekerja dan dana seadanya dari kantong mereka sendiri. Paguyuban desa yang bertujuan mengembangkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya dan pengurangan dampak bencana. Paguyuban masyarakat Merapi yang mempunyai visi dan misi yang sama untuk mewujudkan kesadaran, kepedulian dan kemandirian dalam menjaga kelestarian kawasan Merapi. Malam hari menggunakan lampu Petromak, pertemuan Pasag Merapi di pertama di helat di rumah Mbah Marjo, warga datang dengan membawa bekal makanan mentah sendiri-sendiri seperti ubi, jagung, beras dan kemudian istri Mbah Marjo yang memasaknya. Kemauan warga ini perlu di apresiasi, mereka sangat ingin menggali ‘kaweruh’ (pengetahuan) dan ingin meningkatkan kesadaran diri terhadap ancaman Merapi.
Alasan Mbah Marjo ingin kembali lagi bermukim di wilayah Turgo dan tidak mau berpindah ke daerah lain di karenakan rumah di Turgo adalah tanah kelahirannya, nenek moyangnya juga terlahir di rumahnya sekarang dan sebagai tempat pencahariannya untuk melanjutkan hidup sehingga apapun yang terjadi saat Merapi mengeluarkan material letusan itu adalah sudah takdirnya, walau demikian Mbah Marjo mempercayainya bahwa Merapi adalah sebuah gunung yang memberikan berkah penghidupannya hingga saat ini. Jadi kita harus selalu waspada akan ancaman bencana dan selalu bersinergi juga berteman terhadap Merapi sehingga kita bisa hidup berdampingan. Mbah Marjo semasa hidupnya tidak mengenyam pendidikan. Menurut pengakuannya, Mbah Marjo juga tidak mengenal baca dan tulis. “aku kui wong ‘bodo’ (bodoh)”, kata Mbah Marjo. tetapi, menurut saya sebagai penulis, Mbah Marjo bukanlah 'bodo' dalam arti sebenarnya seperti yang sering dia katakan tetapi Mbah Marjo hanya ingin selalu rendah diri. Menganggap dirinya adalah orang yang bodoh. Orang yang bodoh akan selalu mencari pengetahuan, mencari ilmu baru. Suatu hal yang sering dilupakan oleh orang-orang pintar, yang merasa bahwa wawasannya sangat luas, otaknya sangat cerdas. Kemudian mereka menjadi lupa untuk terus meningkatkan kualitas diri karena merasa sombong dengan kelebihannya. Mbah Marjo adalah orang bodoh dengan segudang pengetahuan soal pemahamannya dengan Merapi. Jadi setiap kali Merapi jika ingin mengeluarkan bahan metrialnya, sebelumnya Mbah Marjo selalu di beritahu melalui mimpinya. Kenyataannya seperti yang sudah dilakukan Mbah Marjo, semua kejadian letusan Merapi terbukti sudah dari tahun 1994, 2006, 2010 dari pengetahuannya melalui mimpi. Dalam mimpinya dari tahun ke tahun, orang yang memberitahunya lewat mimpi orang yang sama dan berpakaian sama. Dalam mimpi itu, dibilang bahwa arah letusan waktu tahun 2006 mengarah kearah ‘ngalor, ngetan dan ngulon’ (utara, timur & barat) dan tahun 2010 juga di beritahu lewat mimpi dengan orang yang sama, Mbah Marjo di beritahu bahwa “anakku sing tak pangku sak ben dino saben bengi, iki sesuk sakjeroning seminggu Merapi ngeduke material luwih gede yang arahnya ngalor dan ngetan dan sebagian ngulon” kata Mbah Marjo menirukan orang yang berkata demikian dalam mimpinya. (artinya: anakku yang kujagain setiap saat, nanti selama seminggu penuh Merapi akan meletus dengan kekuatan yang besar sekali, arah letusannya yang besar ke utara, timur dan letusan kecil mengarah ke barat).
Ada apa-apa yang terjadi oleh Merapi dan oleh Mbah Marjo sendiri adalah berserah diri dan percaya sepenuhnya pada yang Kuasa (Tuhan). “Saya sangat percaya pada Yang Kuasa, hidup matiku kuserahkan pada Sang Kuasa, apapun yang terjadi pada ancaman dari Merapi” jelasnya.
Ziarah di Bukit Turgo
Rumah Mbah Marjo hingga sekarang masih di gunakan sebagai tempat singgah orang yang berziarah ke Bukit Turgo, Plawangan di Merapi, permintaan peziarah bermacam-macam, ada yang minta ingin keselamatan seluruh keluarga, ada yang ingin kaya, kecukupan dan lain sebagainya. Petilasan yang ada di puncak Bukit Turgo adalah Eyang Syeh Jumadilkubro pada jaman wali songo dahulu. Menurut cerita secara turun temurun, Syeh Jumadilkubro saat waktu dhuhur jam 12 siang melakukan sholat dengan para pengikutnya, setengahnya saat melakukan sholat dhuhur secara tiba-tiba Syeh Jumadilkubro tersebut menghilang. Tidak ada orang yang mengetahui keberadaannya hingga sekarang. Masih terjadi kontroversi, apakah kuburan yang ada di puncak bukit Turgo adalah kuburannya asli Eyang Syeh Jumadilkubro atau apakah hanya sebatas petilasan saja, karena menurut berbagai sumber juga ada yang mengatakan bahwa makam aslinya Eyang Syeh Jumadilkubro berada di Mojokerto.
Dari peziarah tersebut, mereka setelah meminta sesuatu dan terkabul, akhirnya para peziarah itu membangun ‘kijing’ (kuburan/petilasan) secara sukarela. “Peziarah disarankan datang dengan niat yang baik, tidak disarankan berniat negatif, seperti permintaan seperti seorang pencuri yang ingin keselamatan dalam melakukan aksinya, hal tersebut tidak akan terkabul dan mungkin malah mendapatkan bencana”, jelas Mbah Marjo. Kata Mbah Marjo juga, Eyangnya (Moyang Mabh Marjo) dulu adalah orang yang di jaga secara gaib oleh Eyang Syeh Jumadilkubro dan selalu diberikan berkah entah sedikit atau banyak. Pemberian berkah tersebut berupa alam yang berlimpah, seperti kebutuhan sehari-hari kecukupan yang terdapat di alam. Atau diberikan berkah menanam jagung atau ketela dan bisa panen banyak juga dapat di jual sehingga dapat rejeki yang berlimpah juga untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Dari kelurahan setempat bersama media besar (TPI, Routers, Indosiar, RCTI dll) mencari Mbah Marjo, melakukan wawancara, pemotretan, dan lain sebagainya. Saat itu Mbah Marjo berada di rumah lagi melakukan pekerjaannya membuat kandang ayam dari bambu, ada sesosok 4 orang datang membawakan gula, teh, beras, supermie, mengaku dari Kapala untuk bertemu dengan Mbah Marjo untuk rembugan dan memberikan HT (handy talky) untuk berkomunikasi mengabarkan kondisi lingkungan sekitar atau kondisi Merapi terkini dan sejumlah uang untuk kebutuhan sehari-hari. Lama-lama rumah Mbah Marjo dijadikan sebagai pusat informasi kebencaan oleh Kappala dan peningkatan kapasitas juga kesadaran diri kesiapsiagaan terhadap Merapi. Pertemuan ini menjadi saksi sejarah Pasag Merapi, antara Pak ET, Gendon dengan Mbah Marjo tersebut. Rumah Mbah Marjo juga di jadikan rumah kedua oleh Pak ET juga Gendon dari Kappala. Istilahnya oleh Mbah Marjo sudah nyedulur banget hubungannya antara Pak gendon, Pak ET dengan dia.
Cerita Dahulu Soal Merapi
Di eranya Mbah Marjo, Merapi sudah meletus sekitar tahun 1961, 1969, letusan besar terjadi mengarah ke Krasak, Bebeng, Kali Kuncet, warga mengungsi dan tak banyak korbannya. Dari berbagai peringatan lewat mimpi yang di terima oleh Mbah Marjo, tetapi dia tetap patuh terhadap aturan yang di keluarkan oleh pemerintah, seperti perintah untuk mengungsi maka dia akan mengungsi walau dia tau terlebih dulu bahwa kapan harus mengungsinya tetapi dia tidak ingin di anggap orang yang ‘pinter’ melainkan malah dia ingin selalu dianggap ‘bodo’. Dia tidak pernah berontak apalagi melawan apa yang sudah di tetapkan status, maupun kondisi atau melawan untuk mengungsi oleh pemerintah, bahwa sejatinya dia malah sudah tau terlebih dulu kapan harus mengungsi atau kapan Merapi akan meletus melalui mimpinya tersebut.
Menurut Mbah Marjo, Merapi itu adalah berhubungan erat dengan pantai laut selatan. Umpamanya seperti Merapi besanan dengan pantai laut selatan. Eyang Sapu Jagad Merapi jika ingin ‘ngeduke bahan’ berupa abu dan pasir yang mengarah kearah utara ataupun selatan, tetapi pembagian itu akan secara merata. Di Turgo sepengetahuan Mbah Marjo sekitar tahun 1994, warga melakukan pasang sesaji-sesaji di wilayah Kedung Boyong, Pojok Jalan dan Perempatan Jalan atau di letakkan di tempat yang dianggap bisa mewakili alam, seperti pohon besar, sungai dan lain sebagainya. Sesaji ini sebagai doa bagi masyarakat untuk meminta keselamatan seluruh warga di Turgo atas ancaman Merapi. Acara dilakukan setiap Suro, berada di rumah Pak Dukuh, entah acara tersebut besar atau kecil tetap dilakukan. Acara Suronan tidak hanya melakukan syukuran dan peletakan sesaji di beberapa tempat tetapi juga ada budaya sesembahan seperti bak air di perempatan juga, acara lain sehabis suronan warga biasanya melakukan begadangan (Melekan) di malam hari untuk berkumpul berembug dengan suguhan makanan tradisional hasil alam dan minum kopi. Kendurian juga dilakukan warga sebagai rasa syukur dan memohon keselematan kepada Tuhan dan berkah Merapi yang di berikan berupa pasir, air dan batu.
Yang di lakukan waga saat ini terhadap penambangan pasir di wilayah Kali Boyong, masih dilakukan secara manual tidak menggunakan alat berat untuk mengeruk pasir dengan keserakahan tetapi di gunakan sesuai kebutuhan saja. Mereka beranggapan bahwa jika alam sekitar Merapi di rusak dengan penambangan secara besar-besaran, warga percaya suatu saat Merapi akan marah dan menimbulkan bencana bagi warganya sendiri. Masih ada budaya dan kearifan lokal bahwa Merapi itu ada semacam garis lurus imajiner antara Merapi, keraton dan lau pantai selatan, kepercayaan ini masih kuat yang dirasakan oleh warga Merapi. Warga Turgo menganggap Merapi adalah sebuah makhluk hidup, sungai ibarat seperti kaki, jika kaki di rusak atau disakiti dengan mengambil pasir atau batu secara serakah menggunakan alat berat, maka Merapi akan marah besar. Menurut kepercayaan warga Turgo, bahwa Merapi jika akan meletus besar jika ada ‘sinabuk ing wesi’, bego-bego dan truk tambang berada di lingkar Merapi, yang kedua filosofinya Merapi adalah sungai ibarat kaki dan hutan adalah bagian tubuh Merapi yang lain, maka jika sungai (kaki) di sakiti setiap hari tentunya yang punya tubuh akan merasa sakit. Mengapa letusan tahun 2006 mengarah ke selatan? Biasanya informasi dari BPPTK dan PVMBG meramalkannya mengarah ke magelang, atau letusan klasik. Ternyata Mbah Marijan dan Mbah Marjo berpendapat lain, “embane koyo kebul kenalpot” (ibaratnya adalah asap seharusnya keluar dari knalpot), “nanging kebul itu metune ora seko knalpot” (tetapi keluar asapnya tersebut tidak keluar dari knalpot) berarti ada masalah di motornya, itu juga terjadi pada gunung Merapi juga. Biasanya letusan itu mengarah ke utara, tetapi saat itu letusan mengarah ke selatan, itu terjadi pasti ada masalah yang terjadi dalam kepemimpinan, pemerintahan, atau ada kekurang beresan dalam pemanfaatan di Merapi. Mempelajari Merapi itu tidak hanya pada proses kebencaannya saja tetapi harus menjaga lingkungan di sekitar Merapi.
Mempelajari Merapi tidak hanya dari tanda-tanda ilmiah saja tetapi juga mempelajari tanda-tanda non ilmiah sebagai sistem peringatan dini dari ancaman Merapi. Mbah Marjo termasuk salah satu orang yang khusus dapat menjadi sistem peringatan dini bagi ancaman bencana Merapi dari segi non ilmiah yang tidak dimiliki warga lain di Dusun Turgo. Mbah Marjo pernah suatu hari di perlihatkan seperti ‘benang nglawer’ kayak semacam benang putih bercaya dan bergelantung seperti tali, itu jika diterjemahkan menurutnya adalah batas garis awan panas. Tidak semua orang pertama dilihatkan dan tidak semua orang bisa membaca tanda-tanda yang di timbulkan oleh Merapi, ini yang dialami oleh Mbah Marjo. Kejadian Mbah Marjo dilihatkan cahaya seerti benang ini sebelum tahun 1994, terjadi sebelum letusan besar di tahun tersebut. Persepsi akan tanda-tanda kejadian alam dan non ilmiah ini bisa sangat berbeda dan pemaknaanya juga bisa berbeda jika terjadi pada orang lain. Kejadian akan tanda-tanda non ilmiah itu telah di buktikan sendiri oleh Mbah Marjo akan arah ancaman hembusan awan panas, benar adanya.
Di Dusun Turgo, telah membuat kesepakatan dengan seluruh warga bahwa pelanggaran jika melakukan penambangan pasir atau batu dari Merapi. Semua warga memaknainya dengan membuat kebijakan sendiri tanpa tambang. Warga telah sadar dan ingin merawat airnya dengan tetap mengalir bersih dengan merawat sumber mata air dan alamnya serta hutan yang dimilikinya di wilayah Turgo tersebut karena setiap warga pasti akan membutuhkannya untuk berkehidupan dan agar anak cucu juga dapat menikmati air bersih. Mereka tetap menjaga kawasan Merapi tetap lestari. Warga Turgo juga masih menajalankan kearifan lokal seperti keselamatan 7 hari, kenduri, ronda, memasak sego golong, tumpengan dan lain sebagainya yang masih di jalankan secara turun temurun. Permasalahannya di wilayah Turgo yang termasuk wilayah Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), akan bisa terjadi selalu ada benturan-benturan tetapi disatu sisi kearifan lokal apakah benar-benar TNGM memanfaatkan warga atau apakah warga dapat memanfaatkan TNGM? Sejak 2001-2002 sudah ada unsur penolakan taman nasional, karena TNGM itu adalah sebuah proyek dikarenakan masyarakat tidak bisa mengakses sumberdaya hutan. Sebagai contoh, masyarakat dalam mencari bambu, kayu bakar sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari akan lebih sulit di dapat. Keberadaan TNGM oleh masyarakat adalah sebuah pelarangan pengambilan terhadap sumber alam yang terdapat di sekitar Merapi, padahal masyarakat itu sudah bisa menjaga kelestariannya dan menjaga sumber dayanya sendiri serta bisa membuat hutan dan alam sebagai pemenuhan akan kebutuhan hidup masyarakat dari hasil bumi tersebut tanpa harus merusaknya. Apakah keberadaan TNGM ini manfaatnya terhadap masyarakat itu lebih besar? Apakah TNGM itu pengertian terhadap hewan ternak warga yang selama ini adalah sebagai hewan peliharaan juga sebagai tabungan mereka juga sebagai mata pencaharian utamanya karena yang terpenting buat warga adalah hewan ternak tersebut dapat tercukupi makan dari hasil hutan dan alam yang mereka tinggali dan jaga hingga kini?
Karena terdapat kasus di Ngandong ada orang nebang pohon dan di penjara 3 bulan, gara-gara mengambil kayu dan ternyata kayu tersebut milik orang Mangungan, sehingga akhirnya Walhi berperan membantu warga mengadvokasi kasus tersebut dan di tetapkanlah adanya hutan rakyat dan hutan lindung di tetapkan. Warga Turgo, memang membutuhkan ‘ngarit’ di hutan untuk memberikan makanan buat ternaknya, dan jika tidak boleh mengambil rumput di hutan oleh TNGM, seluruh warga siap untuk di penjarakan bukan hanya satu orang saja tetapi keseluruhan. Padahal jika terjadi kebakaran hutan di Merapi, warga selalu membantu pemadaman kebakaran yang terjadi, bahkan petugas TNGM nya sendiri tidak berkutik untuk memadamkan, sehingga di butuhkan kerjasama yang bersinergi antara TNGM, pemerintah dengan warga harus berbagi kebermafaatan hutan.
Proses pengungsian warga Turgo pada tahun 1991, mereka mengungsi di barak pengungsian di lokasi-lokasi umum seperti sekolah, masjid dan lainnya atas kemauan warganya bukan karena instruksi dari pemerintahan. Sekitar tahun 1994, pemerintah membangunkan tempat barak pengungsian yang di gunakan oleh warga Turgo hingga sekarang jika sewaktu-waktu Merapi meletus. Telah ada perubahan penanganan kebencanaan yang dilakukan oleh pemerintah Indoensia, Undang-undang kebencanaan lahir tahun 2007, dalam implikasinya tahun 2006 warga Merapi sudah mulai Merancang kearah yang lebih baik dalam penanganan pengeurangan resiko bencana. Jadi memaknai sebuah bencana, sebuah ancaman pasti ada siklusnya. Jaman dulu, pembacaan tanda dari mimpi, gaib, non alamiah, dan masih melihat bahwa gunung Turgo adalah bibi biungnya Merapi, tetapi toh sekarang tetap terkena ancaman bencana Merapi juga. Hal-hal yang seperti itu memang kadang ada benarnya, tetapi sekarang pemikiran tanda-tanda bahaya Merapi secara logis bahwa Merapi adalah sebuah ancaman yang suatu saat bisa membahayakan warga. Jaman dahulu warga masih menunggu, bahwa jika ada bencana terjadi oleh Merapi dan mengalami korban berjatuhan warga masih ketergantungan dengan peran pemerintah, warga masih belum ada 'olah rasa'-nya melihat Merapi itu seperti apa. Sebelum ada Undang Undang belum ada pengungsi mandiri, adanya pengungsi mandiri itu pasca tahun 2006.
Tahun 1994, 1997, 1999, 2001, warga masih seolah olah jika terjadi bencana dianggap sebuah takdir, sebetulnya sebuah bencana selalu beresiko, berpotensi ada korban jiwa, jadi peran penanggulangan bencana tersebut perannya di ambil alih oleh pemerintah. Tetapi kalo sekarang warga Merapi sendiri sudah ada indikasi sudah ada kesadaran soal penanggulagan resiko bencana, ada kesepakatan, ada mekanisme yang baik dari warga sendiri adanya evakuasi mandiri, jika sekarang menunggu-nunggu peran dari pemerintah ya warga tidak akan makan dan tak terurus di pengungsian. Jika warga sudah merasa terancam, masyarakat dengan sendirinya mengungsi, masyarakat sudah sadar adanya ancaman yang terjadi dari letusan Merapi. Dengan adanya kemandirian warga dalam di barak pengungsian, di Turgo masih di ampu oleh teman-teman Tagana dan PMI walaupun ada relawan lainnya. Sebetulnya strategi urusan logistik adalah hal yang sederhana, bahwa masyarakat sudah menyiapkan beras yang disimpan untuk kepentingan genting jika sewaktu waktu terjadi bencana dari Merapi, dengan metode yang di namai adalah mekanisme “Tas Siaga” jadi di setiap rumah sudah ada penyipan tas yang berisi dokumen-dokumen penting, baju, celana maupun makanan yang bisa bertahan lama. Hal tersebut sudah terbangun di warga sekitar Merapi khususnya di Turgo. Apalagi sekarang karakter Merapi sudah berbeda dari jaman dulu, justru hal ini membangun kesadaran warga kembali akan hal pengurangan resiko bencana. Kesusksesan disini adalah sudah melatih dan menghasilkan warga Merapi sadar tentang bahaya Merapi.
Di dusun Turgo terdapat sirine sebagai peringatan dini warga tetapi rusak dan hingga saat ini warga Turgo tidak pernah tau bunyinya seperti apa. Seharusnya ada peran simulasi secara nyata dalam mengahadapi bencana Merapi antara pemerintah dengan warga untuk mencoba untuk membunyikan sirine tersebut sebagai peringatan dini dan warga diberitahu kemana dan seperti apa proses pengungsiannya. Tetapi jika peringatan dini yang berupa sirine dari pemerintah bangun tersebut saja rusak terus terusan, warga akhirnya menggunakan tiang listrik yang di pukul keras-keras untuk peringatan dini warga, karena Turgo berjarak hanya 5 kilometer dari puncak Merapi. Jika jiwa kita masih belum merasa terancam, tidak harus cepat-cepat untuk mengungsi, begitupun sebaliknya jika merasakan jiwa kita sudah merasa terancam, diharapkan langsung mengungsi. Nah, yang jadi masalah disini adalah warga masih belum memahami antara perbedaan mana yang aktivitas meningkat dengan status kegunungan meningkat. Jika aktivitas meningkat, itu adalah niscaya sebuah gunung berapi, tetapi jika ada peningkatan status yang meningkat jika dari status normal ke waspada, waspada ke siaga hingga awas maka warga disini sudah harus tau peran masing-masing seperti siapa yang melakukan apa, kapan, kebutuhannya seperti apa. Informasi soal status dan peningkatan aktivitas kegunung apian didapat dari handy Talky (HT).